"Restorasi Cabe-Cabean"

Admins     21.00  No comments

Seorang petinggi partai datang ke negeri Cina. Bos televisi yang sering menyuarakan sekulerisasi ini terantuk sebuah masalah. Fotonya yang sedang merangkul mesra seorang wanita tersebar ke dunia maya. Senyatanya ia datang dalam rangka menerima penghargaan. Entah penghargaan apa yang mau diterima.

Mantan wartawan yang suka pindah partai menjadi jubirnya sekarang. Memberi  klarifikasi untuk sang bos. Katanya perempuan itu anggota rombongan. Tak ada yang salah dari foto itu, tambahnya. Ingatan kita lalu terjebak pada seorang petinggi partai lainnya. Ia berpiknik bersama artis ke Maladewa dan berfoto mesra pula. Tidak berduaan saja memang. Perlakuan yang mereka terima dari media sekuler berbeda  sekali. Tapi saya tidak akan membahas orang terakhir ini.

Namun, mari kita telaah bersama pernyataan jubir itu. Tidak ada yang salah, katanya. Tidak ada yang salah. Bagi mereka yang berpikiran bahwa agama adalah urusan pribadi tentunya demikian. Ketaatan kepada agama adalah urusan dia dengan tuhannya. Bukan urusan orang lain. Apalagi urusan negara.

Kalau kita bawa kepada aturan agama, apakah tidak salah seorang laki-laki menyentuh dan merangkul wanita yang bukan mahram? Tidak ada yang salah, katanya lagi.  Ah yang benar? Coba kita ganti orang yang bercambang dan berjanggut lebat itu dengan petinggi partai yang kental sekali dengan ideologi Islamnya.

Kalau jawabannya “salah”, itu jawaban yang tidak adil. Karena ukuran kebenaran itu hanya untuk kelompoknya saja. Bukan untuk yang lain. Ketika tuduhan itu menimpa kelompoknya mereka melakukan pembelaan. Namun ketika menimpa di luar kelompoknya mereka diam. Seakan-akan tak punya urusan dengan orang lain.

Kalau jawabannya “tidak salah”, ini pun jawaban keblinger. Karena ukuran kebenarannya juga adalah kebenaran manusia yang relatif, bukan kebenaran Tuhan melalui ajaran yang disebarkan oleh para nabi dan rasul. Salah ataupun tidak salah adalah jawaban ambivalen buat orang yang tidak memegang aturan agama sebagai aturan tertinggi dalam hidupnya.

Cacian dan hujatan akan banyak diterima oleh orang yang ditengarai publik sebagai orang baik ketika orang baik itu terpeleset. Walaupun mereka sebenarnya tidak melanggar syariat sama sekali. Bahkan menghindarkan dirinya dari perbuatan yang merusak harga diri kemanusiaannya dengan perbuatan zina. Poligami dicaci, zina direstui. Zaman sudah terbalik.

Kalau saja bos media itu berasal dari kalangan Islam politik yang puritan, saya yakin ia akan menghadapi makian tiada berkesudahan. Dia bukan dari kalangan yang seharusnya “bermoral” maka tak ada “dosa” buatnya.  Cap wajar masih bisa disematkan kepadanya. Dan publik memelihara standar ganda ini. Ditambah media yang terus menjadi alat pencitraan 24 jam dalam sehari, tujuh hari dalam sepekan.

Maka silakan bersuka-ria dalam gerbong sekulerisasi, karena tak akan pernah ditagih nilai.  Jika kepleset, media siap melindungi dan menyediakan sarana kamuflase dengan sebaran pembentukan opini yang terbalik. Hukum? Bisa kebal juga. Ah, penyair sekaligus pemerkosa itu siap-siap tidak akan pernah diadili di depan meja hijau yang penuh hikmat itu.

Pemimpin negeri adalah cerminan dari rakyatnya, kurang lebih Ibnu Qayyim Aljauziyah mengatakan demikian. Dan sudah ada delapan juta lebih rakyat Indonesia melabuhkan suara untuk partai yang didirikannya. Jangan pernah menggugat. Semuanya berkisar pada refleksi.

Pada akhirnya saya teringat dengan apa yang pernah dikatakan “ideolog” ini. Bahwa restorasi memang bukan jalan pintas. Saya setuju sekali. Ingin rasanya saya menambahkan dengan kalimat penutup berikut: Restorasi Indonesia seharusnya dimulai dari diri sendiri. 

Kalau tidak, restorasi terkesan banal dan sekadar manis di mulut. Bahkan pedas namun tak berarti apa-apa. Serupa cabai yang tak pernah berhenti disantap walau sudah kerap bertaubat. [yq/islamedia]


***
Judul Asli: Restorasi Rasa Cabai

Riza Almanfaluthi
Pemerhati Masalah Politik, Sosial, dan Keagamaan

,

0 komentar :

Recent Post

Proudly Powered by Blogger.