CATATAN PILPRES 2014: PERTARUNGAN BERLANJUT!

Admins     17.30  No comments

Oleh Canny Watae
Relawan Komando Prabowo

Kontestasi Pilpres 2014 secara resmi telah berakhir. Mahkamah Konstitusi sebagai opsi puncak yang ditempuh pasangan Prabowo-Hatta telah memberikan pandangan akhir dan mengeluarkan putusan. Hasil akhir dari kontestasi adalah Joko Widodo sebagai Presiden-terpilih kita. Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden-terpilih kita. Sebagai warga negara yang patuh pada Konstitusi saya, yang adalah pendukung Prabowo-Hatta, terikat pada hasil akhir ini.

Nyaris 3 bulan saya memusatkan ekspresi pribadi mengenai Kontestasi Pilpres pada dinding facebook. Tepatnya sejak akhir Mei. Terima kasih kepada semua orang yang telah datang di dinding saya saling bertukar ekspresi baik sesama pendukung Prabowo-Hatta dan terlebih kepada para pendukung Joko-JK. Saya merasa perlu menulis “epilog” ini sebagai kumpulan benang merah yang mungkin dapat berguna bagi rekans semua. Saya coba mengelompokkan dan langsung memberi catatan. Sebagai berikut.

Latar Belakang 

Pilihan saya untuk terjun secara total mendukung Prabowo di dunia maya ini terpicu pertanyaan-pertanyaan berbau sangka dari beberapa kawan “berapa saya dibayar” untuk menulis status-status yang bernada dukungan kepada Prabowo, sebaliknya bernada tidak mendukung Joko.

Sangkaan seperti ini malah memicu saya untuk mendeklarasi secara terbuka Relawan Komando Prabowo atau REWAKO. REWAKO dalam bahasa Makassar kurang lebih berarti “Berani-lah Kamu”. Atau bisa juga “Bernyali-lah Kamu”. Kawan-kawan dari Sulsel mungkin bisa membantu memberi terjemahan yang lebih pas karena saya sendiri tidak bisa berbahasa Makassar. Saya hanya seseorang yang persis separuh usia tinggal dan bermukim di Makassar. Selain itu, Ayah saya yang mantan Tentara jaman berbagai operasi penumpasan aksi-aksi separatisme, menjadi spirit tersendiri. Beliau bulat memilih Prabowo. Saya sama sekali tidak menerima bayaran. Saya murni Relawan. Tanpa dibayar dan tidak mengharap balas jasa dari siapa pun dan dalam bentuk apa pun. Perjuangan saya murni hanya melalui media sosial Facebook. Akun twitter saya tidak punya dan tidak minat berakun di sana. Setidaknya sampai saat tulisan ini saya buat.

Ranah Opini

Ranah ini adalah rentang waktu sebelum surat suara terakhir memasuki kotak suara. Begitu surat suara terakhir masuk ke dalam kotak maka selesailah ranah ini. Ranah opini adalah ajang balapan tingkat keterpilihan atau Elektabilitas. Capres-Cawapres sendiri, tim sukses, dan para pendukung berlomba-lomba meningkatkan Elektabilitas. Hasil “lomba” adalah angka Elektabilitas. Elektabilitas ini harus dijaga sampai ia berubah menjadi Realita suara dalam kotak suara.

Masa resmi kampanye selama 1 bulan adalah masa di mana Elektabilitas dipertarungkan. Termasuk di dalamnya serial Debat Capres-Cawapres. Ini sangat krusial karena menjadi titik persilangan (crossing point) Elektabilitas para Kontestan. Dari sisi manajemen kampanye, Prabowo-Hatta jauh lebih baik dari pada Joko-JK. Peneliti Ross Tapsell dari Australian National University dan Liam Gammon (kandidat Doktor pada universitas yang sama) menggambarkan “kacau”nya manajemen kampanye Joko-JK. Laporan mereka dapat di lihat pada http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/07/04/notes-on-the-chaotic-jokowi-campaign/. Hal ini menurut mereka nilai berkontribusi pada penurunan Elektabilitas Joko. Tetapi, dalam pandangan saya, kemerosotan ini dapat dikompensasi dengan baik sekali oleh Joko-JK dalam sesi-sesi Debat Capres/Cawapres. Setidaknya, tim Joko-JK berhasil mengarahkan keduanya untuk memetik poin auidens penonton. Ide yang ditawarkan Joko-JK dalam tiap sesi Debat tidak lebih cerdas dari ide Prabowo-Hatta, tetapi cara mereka menyajikan ide dan merespon lawan Debat efektif mengambil hati audiens.

Berbicara “TV Show” berbeda dengan berbicara “Podium Show”. “Soal” berjudul TPID adalah contoh jebakan yang berhasil. Audiens penonton akan “terjebak” menilai bahwa Prabowo tidak hebat karena tidak tahu apa kepanjangannya. Sementara Prabowo yang terbiasa untuk “apa adanya” benar-benar apa adanya. Ia ingin “tembakan” dari Joko fair di depan dulu, yaitu jelaskan dulu apa kepanjangan akronim TPID sebelum ia menjawabnya. Jawaban Prabowo menurut saya tepat dan mengena. Bahwa, TPID itu lebih sebagai ranah manajemen pemerintahan tingkat daerah (yang Pemerintah Pusat tak perlu campur tangan). Tetapi, dalam perspektif “TV Show” imaji audiens akan lebih terisi tentang “ketidaktahuan” Prabowo atas apa kepanjangan TPID ketimbang bobot jawabannya. Itupun, bobot jawaban itu hanya tinggi pada audiens berpendidikan baik. Low-educated audience tidak campur dengan bobot-bobotan. Dan beruntung bagi Joko (atau memang sudah terbidik dengan baik) sebagian terbesar rakyat Indonesia memang belum berpendidikan memadai.

Poin lain adalah sergapan JK atas kekeliruan Hatta. Adipura tertukar Kalpataru. Terus terang, sangat berat memperbaiki “tingkat kerusakan” ini. Apalagi rekonstruksi Opini dari kubu Joko di luar panggung Debat sangat masif, sementara upaya serupa dari kubu Prabowo terasa kurang. Saya pribadi sebagai Relawan butuh upaya yang sangat keras me-restore kekeliruan itu.

Perang Opini meningkatkan Elektabilitas Capres dukungan sekaligus menurunkan Elektabilitas Capres saingan sangat gencar. Prabowo dikorek-korek dengan isu HAM, rumah tangga, dan status pengakhiran kedinasan militer. Joko dikorek-korek dengan isu asal-usul, agama, pencitraan, dan beberapa wanprestasi.

Perang Elektabilitas dimenangkan oleh Prabowo. Ia berhasil menempel ketat Joko Widodo. Beberapa lembaga survey besar (pollster) ditengarai sengaja tidak merilis tingkat Elektabilitas Joko yang semakin terkejar Prabowo karena dapat menimbulkan efek hijrah Opini dukungan publik dari Joko ke Prabowo. Butuh media luar negeri sekelas Sydney Morning Herald yang angkat suara, menyinggung para Pollster itu, atas “kelakuan” mereka. Media arus-utama dalam negeri berada di sisi Joko, jadi mereka pun ikut “menyembunyikan” kemerosotan Joko. Jusuf Kalla pasca “kemenangan 9 Juli” bahkan menyampaikan di salah satu acara bahwa pada pekan terakhir sebelum pencoblosan selisih Elektabilitas tinggal 0,5%. Ini dalam pandangan saya adalah kemenangan bagi Prabowo karena Elektabilitasnya merangkak dari hanya beberapa belas persen ke hampir 50%. Sebaliknya, Joko mengalami penurunan drastis. Pada hari “H” secara teoretik Elektabilitas Prabowo positif melebihi Joko.

Ranah Realita

Ini adalah ranah di mana surat suara terakhir dimasukkan ke dalam kotak suara. Opini telah disalurkan menjadi Pilihan. Elektabilitas telah berubah menjadi Hasil. Pemenang Pilpres sudah ada. Tinggal dihitung saja. Opini apa pun yang dibangun tidak akan pernah bisa mengubah Hasil. Sebelum Hasil benar-benar sah, ada “pendahuluan” di luar tahapan resmi berupa proyeksi suara oleh para penghitung-cepat. Sebagian Pollster yang menyelenggarakan survey Elektabilitas (pada ranah Opini) berganti fungsi menjadi proyektor suara (pada ranah Realita). Ada Pollster yang memproyeksi keunggulan untuk Joko-JK, ada pula yang memproyeksi keunggulan untuk Prabowo. Terjadi lagi “perang”. Proyeksi keunggulan mana yang benar? Ada beberapa yang secara ilmiah sudah bisa memastikan Joko unggul, ada pula yang sudah bisa memastikan Prabowo unggul, dan ada yang tidak boleh memastikan keunggulan untuk siapa mengingat proyeksinya berada pada kisaran titik krusial 50%. Mereka-mereka yang tidak boleh ini terikat pada kaidah ilmiah Margin of Error. Titik 50% berada dalam ruang margin of error mereka. Posisi yang unggul di atas belum tentu pada Real Count akan lebih unggul. Sebaliknya, yang di bawah belum tentu tidak unggul.

Isu dalam “perang para pollster” ini berkisar pada siapa yang kredibel, siapa yang tidak. Siapa yang pernah salah proyeksi, siapa yang tidak. Siapa yang melanggar metodologi, siapa yang tidak. Saya sendiri menemukan fakta matematis yang mengarahkan saya pada kesimpulan bahwa salah satu Pollster memanipulasi perhitungan. Kebetulan, proyeksi Pollster tersebut digunakan sebagai acuan deklarasi kemenangan sepihak pihak Joko-JK. Dari situ saya yakin dan tetap berkeyakinan sampai sekarang bahwa Hasil Pilpres 2014 sebenarnya tidak seperti yang telah diputuskan sekarang.

Quick Count itu berada pada ranah Realita. Proyeksi QC bukan lagi Elektabilitas. Ketika Hasil akhir KPU “sesuai” proyeksi QC yang manipulatif itu, secara ilmiah peluang kecocokan tersebut hanya 2%. Lihat ruang margin of error yang hanya 1%. Ke atas 1%, ke bawah 1%. Total ruangnya hanya 2%. . 98% sisanya merekomendasi bahwa Hasil hitung KPU adalah settingan. Tetapi, keputusan Mahkamah Konstitusi mengikat saya sebagai warga negara untuk patuh bahwa hasil yang saya yakini manipulatif itu sebagai sebuah kenyataan Konstitusional.

Ranah Konstitusi

Ini adalah ranah adu penalti. Ini adalah opsional. Jika ada yang mengambil opsi menggugat Hasil hitung KPU, berarti Pilpres berlanjut. Skor untuk sementara kembali imbang. Piala kemenangan untuk sementara dikembalikan ke KPU. Hal-hal yang terjadi di ranah Opini dan ranah Realita dapat dibawa ke lapangan pengadilan. Di tempatkan Pemohon di kotak penalti, dan ditendang ke arah gawang Termohon (KPU). Sedikit berbeda dengan sepak bola beneran, gol di sini dihitung dengan cara: kalau tembakan Pemohon masuk, berarti poin untuk Pemohon. Kalau tembakan Pemohon berhasil dimentahkan Termohon, maka poinnya terhitung untuk Termohon. Dari sisi tiang gawang bagian luar, ada pihak Terkait (yaitu si Pemenang versi KPU) yang boleh membantu Termohon mementahkan tembakan Pemohon. Gol atau tidak, sepenuhnya ada di kewenangan Wasit. Dan Wasitnya bersifat mutlak. Terima atau tidak terima kita semua terikat pada keputusannya. Begitulah amanah Konstitusi.

Prabowo-Hatta mengambil opsi menggugat. Tim pengacara menyusun dalil. Semua dalil itu tidak ada yang gol. Dalam pengamatan saya, sebagian memang terpatahkan dengan tepisan Termohon dan Terkait. Sebagian lain gol tapi dianulir Wasit. Apa mau dikata. Konstitusi menggariskan bahwa Wasit bersifat mutlak. Pendapat pribadi saya mengatakan tembakan para pengacara salah bola. Kalau merujuk ke uraian saya di atas, saya menduga kecurangan terjadi pada ranah Realita. Yaitu: pengubahan Hasil suara. BUKAN rekayasa pengarahan suara (ranah Opini).

Tembakan para pengacara ke DPT yang bengkak jumlah, DPK, DPTB, DPKTb, dan menyangkut Sistem Noken terarah ke ranah Opini. Susah untuk membuktikan suara-suara yang masuk ke kotak suara dari entitas-entitas itu membawa keuntungan pada salah satu Kontestan. Bahkan tidak mungkin. Maka dalil menjadi lemah. Tetapi, jika tembakan diarahkan ke ranah Realita, bahwa terjadi manipulasi suara pasca pencoblosan, maka entitas-entitas tadi dapat menjadi pintu masuk. DPT yang bengkak, DPK, DPTB, DPKTb, dan Noken-isasi adalah kuda troya menyusupkan suara-suara siluman pada dokumen-dokumen supporting penghitungan suara.

Dengan kata lain, data C1 yang ada pada situs KPU yang terbuka untuk publik sangat mungkin sudah tidak konsisten dengan dokumen-dokumen penghitungan suara pasca hitung di TPS. Ada pun data C1 di situs KPU itu sendiri sebagian besar mungkin sudah mengalami modifikasi isi (dibuktikan dengan adanya C1 palsu yang ditemukan tim Prabowo dan kesaksian Ahli keamanan jaringan yang merekomendasi situs KPU rentan tersusup). Apalagi, KPU sendiri tidak menyiapkan mekanisme resmi penghitungan suara via data C1 yang terkumpul di situsnya sendiri, minimal untuk membandingkan dengan rekap manual. KPU hanya mempersilahkan publik menghitung sendiri tanpa mekanisme sertifikasi kepercayaan dari KPU. Dengan semesta data yang teramat besar (470 ribu lebih) tidak ada satu individu yang bisa menghitung dalam waktu singkat. Sekumpulan individu melakukan secara gotong royong? Tidak ada jaminan hasilnya benar apa adanya.

Dengan mengatur tembakan ke arah Realita, tuntutan bisa menjadi lebih terandalkan untuk dibuktikan. Apalagi, ada aksi pembukaan kotak suara di luar perintah pengadilan yang dilakuka KPU pasca Rekap suara. Pengacara bisa meminta Mahkamah memerintahkan KPU melakukan Hitung Ulang. Perhitungan saya, satu dua kotak suara saja yang tidak konsisten datanya dengan formulir-formulir penghitungan di atasnya, itu sudah bisa membuktikan adanya manipulasi suara. Berarti sudah cukup untuk mengatakan Pilpres Inkonstitusional.

Yang menarik lainnya di ranah Konstitusi ini adalah “anugerah” besar yang diperoleh KPU bahwa membuka kotak suara pasca Rekap boleh dilakukan kapan saja. MK mengiyakan pendapat Ahli yang diajukan KPU bahwa kotak suara adalah properti miliknya. Dengan demikian KPU boleh saja membuka kotak suara kapan saja. Ini menjadi bom waktu bagi penyelenggaraan Pemilu-pemilu berikutnya (ratusan Pilkada dan Pemilu Legislatif dan Presiden berikutnya). KPU diberi mandat membuat Undang-Undang sendiri.

Ranah Hukum dan Etika

Di sini kita melihat bahwa Pilpres diwarnai pemberian hukuman kepada beberapa Penyelenggara Pemilu. Hukuman terberat diberikan kepada semua Komisioner KPU Kabupaten Dogiyai, Papua, karena terbukti tidak menggelar pemungutan suara. Ketua dan anggota Panwaslu Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dipecat karena melalaikan tanggung jawab. Hukuman lain berupa Peringatan kepada beberapa Penyelenggara tingkat daerah lainnya. Hukuman paling mencolok adalah kepada Ketua KPU RI. Dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sang Ketua mendapat 2 Peringatan Keras. Ini menambah Peringatan lain yang sebelumnya sudah pernah diberikan kepadanya. Salah satu Peringatan kepadanya adalah karena memerintahkan pembukaan kotak suara pasca Rekap di luar perintah pengadilan.

Menjadi pertanyaan besar bagi saya bagaimana mungkin sebuah Komisi Negara masih dipimpin oleh seseorang dengan catatan Peringatan Keras berkali-kali. Ada ketidakadilan moral yang saya rasakan. Di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, ada seorang Penyelenggara Pemilu yang secara sah dan meyakinkan dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri setempat. Ia merusak kertas suara Prabowo-Hatta dengan maksud mengurangi suara Kontestan tersebut. Vonis hukuman badan dan denda yang dikenakan kepadanya inkracht (berkekuatan hukum tetap) karena tervonis menyatakan menerima vonis Hakim. Ini menjadi fakta tak terbantahkan bahwa Hak Konstitusional Prabowo-Hatta dilanggar. Kasus-kasus Hukum dan Etika ini mengurangi kualitas penyelenggaraan Pemilu. Mengurangi kualitas Demokrasi.

Media

Turut berduka atas berpihaknya media secara terang-terangan. Media membiarkan diri menjadi alat politik dengan menafikan perannya sebagai pilar keempat demokrasi. Media arus utama seperti Kompas, Detik, Tempo, Jawa Pos, Okezone, Sindo, Viva, Metro TV, TV One, RCTI, tampil tak berimbang. Terjadi bauran tanpa penanda yang jelas kapan media-media tersebut sedang menjalankan fungsinya sebagai mata dan telinga publik dengan perannya sebagai mulut kekuatan politik. Media membiarkan diri menjadi tempat konsolidasi informasi bertujuan politis yang cenderung tak berimbang. Parahnya, harian The Jakarta Post terang-terangan meng-endorse salah satu Capres melalui ruang editorialnya. Yang memiriskan dalam pandangan saya Dewan Pers, Komisi Penyiaran, organisasi-organisasi profesi kewartawanan, seperti tidak ada. Pilar keempat benar-benar rubuh.

Perspektif Strategi

Pilpres 2014 menjadi ajang tarung para Jenderal di latar belakang. Jenderal Intelijen Vs Jenderal Tempur. Sebuah pertempuran-nyata cenderung akan dimenangkan pihak dengan Intelijen yang kuat. Gelaran arsenal tempur di lapangan menjadi tak berarti tanpa pasokan intelijen yang mumpuni. Misi-misi pertempuran selalu dibekali atau berlandas pada data intelijen. Hanya Rambo saja yang berhasil dalam pertempuran tanpa dukungan intelijen. Itu pun karena Rambo dibantu sutradara dan efek-efek kamera.

Kubu Prabowo memiliki beberapa Jenderal Tempur. Di sana ada Joko Santoso, Kivlan Zen, Yunus Yosfiah. Prabowo sendiri adalah Jenderal Tempur. Tetapi Prabowo saya lihat lebih memilih sistem rantai manajemen. Dia kelihatan mendelegasi banyak hal dengan cepat. Cara ini bagus untuk Tim yang relatif homogen karena unsur organisasi punya keterikatan tanggung jawab yang tinggi pada puncak Manajemen. Cara ini butuh semacam General Manager yang luwes dan responsif saat unsur organisasi bersifat heterogen, sehingga menagih tanggung jawab dari semua unsur Tim menjadi lebih efektif.

Di kubu Joko selain ada Jenderal Tempur ada pula Jenderal Intelijen. Saya pikir AM Hendropriyono yang pernah menjadi Kepala BIN adalah nilai tersendiri bagi Tim ini. Terasa sekali respon-respon dan umpan-umpan wacana dari kubu ini, baik saat masih musim perang Elektabilitas (ranah Opini) maupun pasca pencoblosan (ranah Realita). Kita masih ingat jargon “Sumbangan Rakyat”, “Hanya kecurangan yang mengalahkan kita”, “Kawal Pemilu”, “Lupakan Nomor 1, Lupakan Nomor 2, Salam 3 Jari”. Kita merasakan juga ada “hembusan” terjadinya kecurangan pemilu di satu minggu pertama pasca pencoblosan. Media-media pro-Joko ramai memberitakan soal ini. Lalu setelah “pasti” dalam Rekap kecamatan keunggulan ada di kubu Joko-JK tiba-tiba isu ini hilang bak ditelan bumi, untuk selanjutnya diganti dengan episode kekuatan massa. Saya sih yakin, ini “intelligent game”. Dan hasilnya: Berhasil.

Amerika

Soal “Amerika” saya pikir perlu masuk dalam Epilog ini. Intervensi asing adalah salah satu soal yang disinggung langsung oleh Prabowo. Faktanya, “Amerika” memang datang ke Indonesia pada masa-masa krusial tahapan Pilpres. Presiden Bill Clinton datang ke Indonesia tepatnya Aceh jelang Rekap suara berakhir (di Amerika seorang bekas Presiden tetap disebut Presiden, sebuah tradisi penghormatan). Sementara Senator John McCain (mantan Capres 2008) dan Senator Sheldon Whitehouse berkunjung di tengah jadwal sidang Gugatan Pilpres di MK. Apakah ada hubungan antara kunjungan 3 orang besar Amerika ini dengan Pilpres kita?

Presiden Clinton dalam masa purnabakti kepresidenannya terpilih sebagai Utusan Khusus PBB untuk Pemulihan Pasca Tsunami. Kedatangannya hanya beberapa hari sebelum pengesahan Rekap suara 22 Juli menimbulkan tanda tanya besar. Yang aneh dalam pandangan saya adalah kunjungannya ke Aceh bukan sebagai sebagai Utusan Khusus PBB. Saya bolak-balik mengecek ke situs resmi PBB tidak ada satu pun info soal kunjungan ini. Tidak ada pula tanda-tanda layanan protokoler kenegaraan yang diselenggarakan menyambut kunjungannya. Menlu Marty Natalegawa saja mengaku hanya mengetahui kabar kunjungan ini dari media.

Petunjuk terjelas adalah informasi dari Clinton Foundation, yayasan miliknya, yang secara gamblang menempatkan kunjungan tersebut dalam kapasitas “Yayasan” (http://www.clintonfoundation.org/blog/2014/07/19/built-back-better-banda-aceh-10-years-later). Anehnya lagi, kunjungan tersebut dibumbui judul peringatan 10 tahun Tsunami. Lha, momennya tanggal 26 Desember, sementara kunjungan Clinton ada di bulan Juli.

Spekulasi yang berkembang menyebutkan Clinton mengirim “pesan khusus” ke Presiden SBY terkait Pilpres. Masuk akal? Mungkin tidak karena keduanya tidak bertemu secara langsung. Tetapi, bisa jadi masuk akal jika melihat siapa yang mendampingi Clinton di Aceh. Ya, Kepala Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Kuntoro Mangkusubroto. Kuntoro adalah juga kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Orang dekat Presiden SBY.

Kalau kunjungan Presiden Clinton “terantisipasi” dengan adanya beberapa statement dari kubu Prabowo jelang dan saat kedatangannya -juga diwarnai demo kecil di beberapa tempat- , kunjungan Senator McCain dan Senator Whitehouse terkesan “lolos”. Para Senator lolos bertemu langsung Presiden SBY.

Tuan McCain jelas-jelas menyampaikan pesan bahwa Amerika menyelamati Joko Widodo sebagai Presiden-terpilih. Ini jelas mengenyampingkan proses konstitusional yang sedang berlangsung di Negara yang sedang dikunjunginya. Agak aneh bagi saya Senator Negara dengan supremasi hukum yang tinggi itu mengeluarkan pernyataan “gegabah” seperti itu. Pernyataan resmi Tuan McCain dapat dilihat di http://www.mccain.senate.gov/public/index.cfm/press-releases?ID=ccbac8df-5b6a-49d2-ba1c-45aef6269c00. Adapun Tuan Whitehouse adalah salah satu Senator yang memberi perhatian khusus pada persoalan hankam untuk kawasan Asia Tenggara.

Senator McCain membawa oleh-oleh “janji” untuk Indonesia. “Janji” yang mungkin sudah ditunggu-tunggu, yaitu: Normalisasi penuh hubungan militer Amerika-Indonesia. Pasca kerusuhan Santa Cruz (Timor Timur, 1991), Indonesia mendapat sanksi dari Amerika berupa pembekuan hubungan kerja sama kemiliteran. Sanksi yang menyebabkan pesawat-pesawat tempur F-16 yang dibeli dari Amerika hanya bisa terbang tanpa senjata karena Kongres Amerika melarang penjualan senjata ke Indonesia. Kanibal kiri kanibal kanan, jet tempur canggih pada zamannya itu perlahan menua tanpa pernah bisa membuat negara tetangga segan. Hubungan kembali dibuka pasca Reformasi tapi belum pernah mencapai skala penuh hingga saat ini.

Pernyataan resmi Senator McCain jelas-jelas intervensi, mengingat saat pernyataan itu dikeluarkan keabsahan konstitusional pemenang Pilpres sedang diadili di Mahkamah Konstitusi. Pernyataan tersebut jelas-jelas memberi spirit bagi pengukuhan Joko Widodo sebagai Presiden-terpilih. Jelas, itu merugikan Prabowo dalam konteks persaingan menuju RI-1. Namun, dalam konteks Indonesia sebagai Negara, apakah ke depan aksi Tuan McCain membawa dampak positif atau negatif bagi Negara kita atau tidak, sangat “Debatable”. Saya lebih tertarik melihatnya dari konteks Amerika-nya.

Secara teoretik Amerika saat ini sudah bangkrut. Biaya perang di Iraq dan Afghanistan era George W. Bush menyedot terlalu banyak anggaran. Per 2011 Utang Luar Negeri sudah melebihi PDB. Sudah lebih dari 15 Trilyun Dollar. Beberapa tahun terakhir Pemerintah Federal Amerika Serikat harus “shut down”alias tutup sementara di awal tahun anggaran karena ketiadaan uang. Pemerintah belum bisa mengakses anggaran tahun berjalan karena APBN belum bisa disahkan. Pendapatan tidak cukup untuk membiayai proyeksi Pengeluaran. Perdebatan di Konggres terkesan “hebat” tetapi sebenarnya “memalukan”. Yang diperdebatkan adalah seberapa besar Amerika boleh berutang lagi untuk menutupi APBN. Bahasa kerennya: Plafon Utang. Pihak yang menolak beralasan utang sudah hampir melebih PDB (2011). Pihak yang mengajukan ngotot “demi rakyat”. Pada akhirnya ribut-ribut selesai juga dengan kemenangan pepesan kosong “Yes, kita boleh tambah utang lagi”. Sementara saat ribut-ribut berlangsung seluruh dunia harus hemat nafas. Kegagalan pengesahan APBN Amerika dapat dipastikan langsung menjalar menjadi krisis ekonomi global. Di dalam APBN Amerika secara tidak langsung “tercantum” berbagai uang milik Negara lain. Berbagai cicilan Amerika ada di sana. Kalau Amerika sampai gagal bayar, maka....... ah... mengerikan. Kanselir Jerman bilang: Rakyat Eropa sampai harus ikut menanggung dampak pemborosan Rakyat Amerika. Bukan hanya Eropa. Saya tambahkan: Indonesia, juga. Dan kita harus sport jantung lagi karena September mendatang adalah akhir tahun anggaran Amerika. Ribut-ribut di Konggres Amerika soal Plafon Utang sepertinya akan kembali terjadi dengan dampak pada “Government Shut-down”.

Pendek kata, semua pihak di Amerika bergerak ke luar mengamankan dan mencari sumber-sumber pendapatan Rakyat Amerika. Agar Negara itu tetap eksis. Hebatnya Amerika ada di situ. Ribut di dalam tapi kalau sudah keluar semuanya satu suara. Orang Republik dan orang Demokrat bahu-membahu cari duit di luar. McCain adalah Senator Republik dari Arizona. Whitehouse adalah Senator Demokrat dari Rhode Island. Keduanya rajin “menggarap” kawasan Asia Tenggara, kawasan di mana dulu Tuan McCain pernah menjadi tawanan perang dan Tuan Whitehouse tumbuh besar sebagai putra seorang diplomat. Ketika argumen ini diperhadapkan dengan tawaran kedaulatan sumberdaya alam Indonesia yang diajukan Prabowo saat masa Kampanye lalu, situasinya ibarat minyak ketemu air.

Yang saya yakini hingga kini, kebijakan Amerika adalah mendukung keutuhan NKRI. Kebijakan yang masih sama berlaku ketika sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang punya Hak Veto, Amerika ikut mendorong Timor Timur lepas dari Indonesia, 1999. Peristiwanya terjadi hanya beberapa bulan sejak Letnan Jenderal Prabowo tersingkir dari rantai komando Angkatan Bersenjata RI.

Penilaian saya atas Prabowo Subianto

Fenomenal! Prabowo fenomenal. Saat Joko Widodo sudah mengantongi Elektabilitas sangat tinggi (di atas 50%) bahkan setahun sebelum Pilpres, Prabowo “masih belum apa-apa”. Tiga bulan sebelum hari H, Elektabilitas Prabowo hanya belasan persen. Elektabilitasnya meroket, meningkat eksponensial dan finish (atas kekuasaan Konstitusi) pada titik 46,85%. Saya pribadi meyakini lebih dari itu dan melebihi Joko Widodo. Peningkatan Elektabilitas itu terjadi dalam kondisi melawan badai. Sungguh fenomenal.

Dari perspektif politik, Prabowo merangkak dari bawah. Ia disingkirkan dari dinas kemiliteran dalam aroma “politik individu” yang sangat kental. Ia menjadi kambing hitam atas malpraktik tata laksana sistem-hibrid militer yang ber-dwifungsi di era mertuanya menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Ia tersingkir dan harus menanggalkan seragam militer yang setia dipakainya selama puluhan tahun, sebuah karir “bertaruh nyawa” yang dipilihnya dengan menyingkirkan opsi hidup enak kuliah di perguruan tinggi ternama luar negeri.

Prabowo masuk ke dalam dunia politik, membangun Partai, ikut Pemilu 2009 dan 2014, juara 3 Pemilu Legislatif 2014, dan puncaknya sebagai Calon Presiden. Ia menempuh cara-cara Konstitusional untuk “menebus” nasib masa lalu. “Sayangnya”, dalam pandangan saya, ia terlalu lurus. Ia memberlakukan jagad persilatan politik Negerinya yang masih kental diwarnai cara-cara tak sportif dengan resep penuh tata krama perpolitikan Negara demokrasi-maju, tempat ia pernah mengenyam pendidikan menengah. Ia terlalu santun sebagai politisi. Tapi saya setuju, sikap seperti ini harus ada yang mulai memberi contoh. Prabowo sudah melakukannya dan ada baiknya segera dipraktikkan oleh para Politisi, utamanya Politisi-pemula yang tamat pendidikan formal pasca Big-Bang Demokrasi Indonesia ’98.

Pengorbanan terbesarnya adalah ketika ia harus bersaing dengan orang yang turut dia besarkan: Joko Widodo. Itu pun terjadi karena dirinya (lagi-lagi) “disingkirkan”. Kali ini oleh “Mbak”nya yang dulu pernah bersepakat dengannya di atas sebuah “Batu Tulis”. Ia yang mempertahankan tradisi “lurus-lurus” sontak meradang. Pakem politik “tidak ada musuh abadi, hanya kepentingan yang abadi” ditabraknya lurus-lurus. Ia “menggugat” pelanggaran perjanjian itu di ranah publik. Ia memang apa adanya.

Dalam Kontestasi Pilpres, Prabowo menempatkan Joko secara fair. Teramat banyak kesempatan dalam sesi Debat di mana ia dapat saja menerkam Joko. Namun nampaknya mempermalukan lawan Debat dalam forum terbuka bukanlah cara dia, meski sebaliknya dia sendiri harus dengan sabar meladeni trik-trik di luar level Debat Kepresidenan dari lawan Debatnya. Atau, mungkin, lawan Debatnya memang belum mencapai level Capres. Mungkin. Kita akan melihat nanti benar-tidaknya jika Joko Widodo telah memerintah.

Lanjutan Ranah Politik dan Tata Usaha Negara

Persidangan Mahkamah Konstitusi telah berakhir. Keputusan telah turun. Gugatan Prabowo-Hatta ditolak secara keseluruhan. Kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dikukuhkan Majelis Hakim Konstitusi. Selesai? Nampaknya belum. Tahapan Pilpres belum selesai. Dalam jadwal KPU, Tahapan baru selesai terhitung setelah Pengucapan Sumpah Presiden dan Wakil Presiden terpilih tanggal 20 Oktober nanti.

Tetapi bukan di situ pokok cerita. Prabowo dikabarkan masih akan menempuh beberapa langkah lain yang masih berada dalam koridor Konstitusi. Ia mengambil langkah ekstra ini karena merasa keadilan atas pelanggaran Hak Konstitusional-nya masih tetap bisa dicari, tetap dalam koridor Konstitusi. Selain ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Prabowo juga akan bergerak melalui leg parlemennya.

Menurut saya, itu sah. Prabowo mencari keadilan. Apa yang dicari Prabowo itu pada dasarnya adalah apa yang saya rasakan. Karena terikat Konstitusi, Prabowo patuh pada apa yang diputuskan MK. Ia tidak boleh menghalang-halangi Joko-JK dilantik dan menjalankan tugas pemerintahannya. Tetapi, ia tetap boleh diberi dan memanfaatkan kesempatan untuk membuktikan bahwa proses yang mengantar Joko-JK dalam mendapatkan amanah Konstitusi adalah melanggar Konstitusi itu sendiri, dan/atau perundangan di bawahnya. Yang tidak boleh Prabowo lakukan adalah memberangus Konstitusi itu sendiri. Bagi pihak-pihak yang mengatakan langkah ini tidak sah, sama saja dengan mengatakan tidak sah keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Parlemen.

Berbeda dengan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang tidak punya kendali langsung ke parlemen, Prabowo memilikinya. Dengan Partai Gerindra yang ia dirikan dan ia besarkan, Prabowo setidaknya mengontrol 73 dari 560 kursi di DPR RI. Total bersama Koalisi Merah Putih (KMP), Prabowo dan mitra koalisinya mengontrol 353 kursi (!). Jumlah itu lebih dari setengah untuk memastikan keunggulan pengambilan keputusan politis parlemen. Dengan power ini, teramat mudah bagi Prabowo untuk mendapatkan akses ke berbagai subyek dan obyek yang diduga melakukan pelanggaran Pilpres. Jadi, segala macam gambar editan di jagad dumay yang selama ini melecehkan Prabowo pada ajang Pilpres, akan tampak sebagai lelucon hambar. Karena, obyek yang dilecehkan itu ternyata Powerful.

Ranah Politik akan sangat ramai. Jauh melebihi hiruk pikuk di Mahkamah Konstitusi. Kubu Joko-JK akan mencari cara “merayu” partai anggota KMP. Itu sah-sah saja. Tidak salah. Ranah Politik adalah seni “who get what, when and how”. Selain “merayu”, melalui Jusuf Kalla Kubu Joko-JK punya bonus kesempatan untuk “menculik hati” Partai Golkar. Kalla masih punya banyak loyalis di partai terbesar dalam KMP itu. Ibarat gadis dan pemuda yang sama-sama sedang mencari pacar, duduk bersebelahan dalam bis antar kota antar provinsi, hanya kondektur yang bisa melerai mereka.

Jika rayuan dan culik hati tidak membuahkan hasil, maka Ranah Politik akan melebih hiruk pikuk kasus Century di parlemen. Namun, namanya juga politik, hasil akhir tidak ditentukan seberapa besar hiruk-pikuknya. Pansus Century yang ramai itu saja sampai sekarang belum tuntas mencapai misi politiknya. Padahal yang ditarget, sudah akan berlalu. Dan, para pihak yang tempo hari berbeda pendapat, kemungkinan sudah berada dalam kepentingan yang sama dalam laga Ranah politik bertajuk menegakkan keadilan Pilpres.

Jika Pansus Pilpres sampai bergulir, dan berlanjut sampai sampai DPR menggunakan Hak Angket, lalu Menyatakan Pendapat, maka .................. ah, namanya Politik. Saya tidak bisa berkesimpulan di sini. Saya hanya bisa bilang: Rame!

Pertarungan Klasik Mega-SBY

Saya mengamati momen Upacara Kemerdekaan. Ternyata, Megawati Soekarnoputri tidak hadir. Ia menggenapkan kali ke-10 tidak menghadiri undangan. Saya akhirnya harus memasukkan sub Pertarungan Klasik ini dalam Epilog. Pilpres 2014 klop menjadi lanjutan pertarungan Mega-SBY. Selama 10 tahun Megawati Soekarnoputri tak pernah sekalipun menghadiri Upacara Kemerdekaan di Istana Kepresidenan. Selama itu pula Mega menyelenggarakan upacara sendiri di lingkungan kediaman. Ini bukan lagi sekedar isyarat. Ini pengumuman terang-benderang ada sesuatu yang mungkin susah untuk diselesaikan antara mereka berdua. Tidak relevan untuk menulis di sini apa latar belakang sehingga fenomena ini terjadi, lebih penting untuk menariknya ke dampak yang kemudian mempengaruhi Pilpres 2014.

SBY, orang Indonesia pertama yang menjadi Presiden melalui pemilihan langsung dan Presiden pertama era Reformasi yang berhasil menjabat 2 kali berturut-turut, tentu ingin menyempurnakan catatan emas Kepresidenan-nya dengan masa pensiun yang baik. Kuncinya ada di siapa Presiden RI berikutnya. Lebih tepatnya: Rezim Politik mana yang akan berkuasa. Catatan emas Kepresidenan SBY rentan terutak-atik oleh rezim penggantinya.

Di detik-detik terakhir sebelum Kampanye Pilpres dimulai, arah SBY terlihat ke Prabowo (kita jauhkan faktor Hatta sebagai besan SBY). Ini adalah isyarat awal tarung klasik mulai oper persneling. SBY ingin menjauh dari pihak yang “mengejar” dia. Gigi persneling makin tinggi ketika partai Demokrat besutannya ikut dalam deklarasi mempermanenkan KMP pasca pemungutan suara.

Sama seperti Prabowo, SBY punya legislatif. Ia mengontrol langsung Partai Demokrat yang dalam parlemen mendatang akan berjumlah 61 kursi. Menyeberangkan Demokrat dengan konsesi “menikmati masa pensiun dengan tenang” tidak cukup untuk langsung memberi keunggulan mayoritas kepada kubu Joko-JK. Atau, walau pun opsi menyeberang dipilih, dalam pengamatan saya, itu tidak cukup kuat untuk “menghapus kenangan lama” persona Megawati Soekarnoputri kepada SBY.

Jika-lah demikian, akankah pertarungan klasik Mega-SBY berlanjut? Dampaknya “BESAR”.

-TAMAT-


*by Canny Watae
Relawan Komando Prabowo. I still stand beside, you, General.

(sumber: fb)

,

0 komentar :

Recent Post

Proudly Powered by Blogger.