Maiyade Laila Yane
“Lebaran ini nggak usah pulang ya, kalau memang masih belum ada. Setidaknya nama aja dulu cukup………” klik.
Kali ini Ibu kejam sekali. Nelfon dengan kalimat lugas, cepat dan tepat mengenai ulu hatiku. Hiks….
“Kucari kemanaaaaaaaa……, arrrgghhhhh……”
***
“tiktaktiktuktiktaktiktuk………..”
Suara keyboard laptopku masih gaduh, padahal sudah dini hari. Kulihat timer di laptop, menunjukkan angka 02.13.
“hufffffhhhhhhh……..”
Aku
menarik nafas, sangat dalam. Beberapa hari belakangan masih terngiang
kalimat Ibu. Aku nggak boleh pulang, kecuali bawa satu nama. Aku tahu
persis tabiat Ibu. Ini serius. Tapi nama siapa yang akan kubawa?
Kulampiaskan kegalauanku hari ini dengan menulis hingga larut malam. Sesuatu yang sangat jarang kulakukan.
Setelah
jam 03.24 kuputuskan untuk berwudhu dan shalat hajat. Membasahi sajadah
dengan air mata, memohon dan meminta kepada Allah agar segera
mendapatkan “satu nama” sebagai tiket pulang kampung lebaran tahun ini.
***
“Gimana Neng, udah dapat nama? Ingat, umurmu hampir 29 tahun. Kamu mau jadi perawan tua. Ibu malu sama tetangga…….”
Kalimat
itu kalau dihitung sudah hampir seribu kali diucapakan oleh Ibu
kesayanganku ini. Wajar, anak gadis semata wayangnya tak kunjung
melenggang ke pelaminan. Khawatir tak sempat menimang cucu.
“Kamu jangan pilah-pilih lagi, siapa yang datang langsung saja terima….”
Aku
senyum sendiri melihat tingkah Ibu. Kebelet ingin punya menantu,
siapapun jadi. Lalu aku yang akan memakai entah bagaimana nasibnya.
Malang.
“Bu, yang sabar. Nengsi kan lagi usaha….” Kataku membujuk.
“Usahaaaaaa terus. Jawabanmu basi…..” Kata Ibu tak kalah sengitnya.
“Bu, jodoh itu Allah yang atur. Kita bisa apa. Yang penting usaha dan doa. Iya toh?” Kataku tak mau kalah.
“Iyaaaaaaa, terserah kamu lah. Ibu capek…..” klik. Tanpa salam telfon langsung diputus lagi. Ibu jengkel.
Sebenarnya
rasa risauku jauh lebih besar dari kerisauan Ibu terhadapku. Bagaimana
tidak, hampir semua teman sebaya sudah punya pasangan. Tidak sedikit di
antara mereka sudah memiliki satu dan dua orang anak. Ada rasa malu di
dalam hatiku. Bahkan beberapa waktu belakangan Aku memutuskan untuk
tidak intip satupun akun socmed yang kupunya. Hanya karena
tidak mampu membendung rasa cemburu saat melihat foto bayi-bayi mungil
itu. Bayi teman-teman sebaya. Atau foto-foto mereka di pelaminan.
“Nyesek” kata anak-anak gaul sekarang.
***
Sebenarnya,
seumur-umur Aku belum pernah pacaran. Kata Ibu cuma Aku gadis yang takut
sama lelaki. Aku mangut-mangut cemberut. Ibu jelas salah, tidak pacaran
tentu bukan karena takut sama makhluk yang bernama lelaki. Meski selalu
gemetar hebat saat berbincang dengan lelaki, panas dingin karena grogi
akut. Tapi bukan berarti Aku takut. Hanya satu alasan bahwa Aku tidak
ingin berdosa. Pacaran itu mendekati zina, itu yang aku tahu.
“Makanya,
dari dulu sudah berbusa mulut Ibu mengatakan kepadamu. Miliki satu saja
teman lelaki apa salahnya sih, lihat sekarang susah cari jodoh
kaaan…??” Ibu kesal sekali padaku.
“Ibu, Nengsih kan sudah bilang.
Bukan apa-apa. Nengsih nggak mau berdosa masuk neraka. Yaaa…, kalaupun
belum ketemu jodoh bukan berarti karena nggak pacaran itu Bu…, belum
ditakdirkan. Nah itu baru betul…..” kataku membela diri.
“Alah…..” Ibu memang selalu kalah bila berdebat denganku soal yang satu ini.
Tetapi
Ibu tidak tahu bahwa betapa sekarang hatiku berbunga-bunga. Cuaca
hatiku sedang cerah dan berpelangi. Seorang teman lama tiba-tiba
menghubungiku ingin menjodohkanku dengan temannya.
“Apa??? Ta’aruf??”
Hampir
kugigit jari sendiri karena rasa bahagia. Ini pertama kalinya hingga
umurku hampir 29 tahun Aku menerima tawaran ta’aruf. Mungkin ini bisa
menjadi tiket pulang kampung pikirku. Sungguh pikiran yang salah.
Terlalu.
***
“Neng, gimana udah jadi biodatamu? Email ke
saya hari ini juga ya……” begitu bunyi sms dari Ringgo. Temanku satu
tempat kerja dulu.
Dengan tangan bergetar dan tubuh panas dingin kubalas sms Ringgo.
“Iya, ini lagi mau dikirim biodatanya”
Dadaku berdegup kencang. Aliran darahku berpacu. Ya Tuhan inikah rasanya? Pikirku.
Malam
itu penyakitku kambuh. Guling-guling nggak jelas di atas kasur hingga
larut malam. Aku insomnia. Perasaanku sulit untuk dijelaskan. Yang pasti
aku tidak bisa tidur hingga pukul 03.00 dini hari. Setelah tahajud dan
berdoa dengan sepenuh hati akhirnya aku terlelap. Paginya terlambat ke
kantor. Ah…
***
“Neng, selamat ya… kamu diterima…..”
“Diterima gimana? Wong aku nggak ngelamar kerjaan…..” Jawabku enteng.
“Hehe….” Terdengar tawa renyah di balik sana.
“Biodatamu lulus. Kata temen dia bersedia kenalan lebih lanjut…..”
Tenggorokanku
tercekat. Tiba-tiba Aku mual dan rasanya mau muntah. Sungguh berita tak
terduga datang. Antara bahagia dan takut serta hampir tidak percaya.
Apa benar laki-laki itu jodohku? Masa iya segampang itu pikirku.
“Jadi gimana selanjutnya?” Tanyaku bingung.
“Beberapa
hari ke depan saya hubungi Neng lagi ya, untuk jadwal ketemuan. Nanti
kalian tanya jawab di sana. Saya dan istri akan menemani” Ringgo
menjelaskan dengan tenang.
“Baiklah, terima kasih yaaa……”
Aku
senang sekali. Dengan perasaan harap-harap cemas menanti informasi dari
Ringgo. Setiap malam insomnia. Turun berat badan tiga kilo karena
selain insomnia juga tidak lagi nafsu makan. Parah.
***
Sudah
hampir seminggu, kini Aku sudah kembali bisa tidur nyenyak. Tapi kenapa
belum ada kabar dari Ringgo. Sementara lebaran satu setengah bulan
lagi. Setidaknya ada kejelasan hingga lebaran tiba, dan aku pulang
kampung dengan bahagia.
Karena sudah tidak sabar menanti akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya kepada Ringgo tentang kelanjutan perkenalan itu.
“Nggo….apa kabar? Gimana bisnis kita kemaren? Kok belum ada kabar….“
“Emmmm…..ehh…gimana ya menjelaskan ke kamu….” Aku menangkap kebingungan Ringgo.
“Kenapa, nggak apa-apa ngomong aja..” Desakku.
“Gini,
aku nggak enak kasih tahu Neng. Dua hari yang lalu dia nelfon. Katanya
orang tuanya keduluan ngajuin calon. Dia nggak bisa nolak tawaran
Ibunya. Jadi proses dengan Neng minta dipending dulu. Dia mau lihat
calon yang dari Ibunya. Kalau tidak cocok baru lanjut dengan Neng… dia
merasa cocok kok sama Neng….” Ringgo terdengar sangat hati-hati
menjelaskan kepadaku.
“Oooh gitu…..” aku terdiam. Berpikir dalam.
“Tapi
maaf ya Nggo. Neng nggak mau dipending. Ya udah cukup sampai disini
aja. Neng doakan semoga calon dari Ibunya memang yang terbaik. Semoga
dimudahkan…..”
Suaraku hampir tidak bisa didengar. Ringgo berusaha
menghiburku, tapi gagal. Harapanku terlanjur pupus. Remuk redam. Dan
baru kali itu aku menangis hebat di toilet kantor, banjir air mata.
Kusadari kesedihan yang dalam telah melanda seluruh ruang di hatiku. Aku
patah hati, Tuhan.
***
“Neng apa kabar?” kudengar suara Ringgo renyah.
“Kabar baik, Alhamdulillah….” Jawabku dengan riang.
Suasana
hatiku sudah tidak berkabut lagi. Setelah peristiwa patah hati yang
sangat menyakitkan itu, besoknya aku curahkan seluruhnya perasaan kepada
Ibu. Dan Ibu pun berempati kepadaku, beliau membolehkan Aku pulang
kampung meski tak ada nama yang bisa kubawa. Ternyata empati Ibu cukup
menghibur luka di hatiku yang sempat berdarah-darah. Aku kembali
bahagia, meski belum lupa.
“Neng…..” Ringgo menahan kalimatnya.
“Ya…..” Jawabku dengan nada sedikit penasaran.
“Bersediakah Neng menjadi istri keduaku??” Dengan berani Ringgo menyampaikan maksudnya.
“Apa…!!!!”
Aku setengah berteriak tidak percaya dengan apa yang dia sampaikan.
Bola mataku melotot hampir keluar dari tempatnya. Sejenak kurasakan bumi
yang indah ini berhenti berputar.
“Iya, aku memberi kesempatan kepada Neng……” Dia masih saja percaya diri.
“Kamu
gila ya….., ingat anak istrimu bro….” Aku emosi dan marah sekali.
Aliran darahku mengalami tegangan tinggi. Tiba-tiba aku benci kepada
temanku itu, entah kenapa merasa dilecehkan.
“Tenang saja, Aku
akan bertanggung jawab pada kalian semua. Kita bina rumah tangga seperti
Aa Gym itu lho. Istriku sudah mengizinkan……”
Kepalaku pusing.
Dari tadi rasanya seperti habis disambar petir. Degup jantungku kencang
sekali. Aku teramat marah kepada Ringgo. Tega-teganya dia menyampaikan
itu kepadaku. Aku tersinggung. Mentang-mentang usiaku hampir kepala tiga
seenaknya dia mau menjadikanku yang kedua. Dia tidak tahu bahwa sampai
kapanpun aku ingin menjadi yang pertama. Apa dia dan istrinya kasihan
padaku. Aku tidak mau dikasihani. Oh Tuhan katakan padanya aku tidak
bersedia dikasihani.
“Neng….., halloooo, Neng….., pikirkan dengan
matang ya…, jangan lupa istikharah. Saya dan istri akan menunggu
jawabanmu. Neng….., Neng….”
Aku pingsan tak sadarkan diri. Sejak
itu, Aku tidak mau mengenal seorang teman yang bernama Ringgo lagi,
begitu juga istrinya. Aku tahu itu keterlaluan, itu salah tapi emosi ini
tak bisa dibendung. Ke laut aja deh mereka berdua. Aku marah.
Sumber: dakwatuna.com
0 komentar :