Kabar tak sedap datang dari Rumah Transisi. Belasan relawan
pendukung Jokowi-JK menggeruduk rumah yang beralamat di Jalan
Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Senin kemarin. Mereka menagih janji
pimpinan Rumah Transisi untuk melibatkan simpul-simpul relawan.
Juru bicara relawan, Boni Hargens mengatakan, relawan yang
hadir tergabung dalam 88 relawan dari 15 kelompok telah didaftarkan ke
dalam 22 kelompok kerja (Pokja) Rumah Transisi. Namun mereka tak kunjung
mendapatkan kepastian.
“Nama kami semua (88 relawan) sudah didaftar dan diserahkan
ke Rumah Transisi pada 23 Agustus 2014 melalui Deputi Rumah Transisi
Andi Widjajanto. Adapun 88 nama itu dari masing-masing 4 relawan di
semua (22) Pokja,” kata Boni, Senin (25/8/2014).
“Angka ini sudah disepakati oleh para relawan dan Bapak
Presiden Jokowi dalam rapat tertutup di Balai Kota, Jakarta pada 20
Agustus 2014,” imbuh dia.
Boni bersama relawan ingin mengklarifikasi pimpinan dan
keempat deputi, mengenai nama-nama yang sudah diserahkan itu kapan
kiranya bisa secara legal bekerja di Rumah Transisi.
“Bagaimana mekanisme kerja di Rumah Transisi? Mengapa Rumah
Transisi bekerja secara ekslusif dan tertutup? Apa saja yang menjadi
tugas kami di Rumah Transisi?” tanya Boni.
Aksi Boni Hargens dkk mendapatkan kritikan dari pengamat
politik UGM Arie Sudjito. Menurutnya, apa yang dilakukan dan yang
dituntut Boni Hargens dinilai berlebihan. Sepantasnya relawan tak
berbuat seperti itu.
“Nggak perlu show of force kaya gitu. Relawan jangan
berlebihan. Nggak etis,” kata pengamat politik UGM Arie Sudjito saat
berbincang, Selasa (26/8/2014).
Relawan, menurut Arie, adalah kekuatan politik bekerja
berdasarkan solidaritas dan kesukarelaan. Tak lantas kemudian menuntut
ikut bekerja dan terlibat. Para relawan tugasnya sekarang adalah
mengawal, biarkan Jokowi-JK yang bekerja.
“Nggak perlu relawan itu jabatan, kan namanya relawan harusnya mengedepankan mengawal proses,” tambahnya.
“Jabatan nggak usah dikejar, kalau kompeten dan memenuhi
kriteria pasti diplih Jokowi. Relawan itu harusnya bangun soliditas,
nggak perlu kaya gitu menuntut-nuntut,” tutupnya.
Kasus ini mengingatkan saya pada kegelisahan yang
dituliskan Julian Benda di awal 1930-an dalam bukunya “La Trahision Des
Clercs”. Buku ini berjudul “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan” jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Julian Benda prihatin dengan banyaknya kaum cendekiawan
atau intelektual yang berkolaborasi dengan Nazi Hitler dalam Perang
Dunia I dan II. Kaum intelektual yang harusnya bersikap kritis, menjaga
jarak sosial politik dan berpihak pada kebenaran& nurani, justru
mendukung Nazi.Dan dosa terbesar kaum intelektual yang berkhianat
semacam itu adalah ketika diam saja melihat kebenaran; bahkan cenderung
menutupinya.
Julian Benda memang sudah lama menulis buku tersebut. Tapi
di masa kini, keprihatinannya dengan mudah kita temukan. Kasus protes
yang dilakukan Relawan Jokowi-JK yang didalamnya banyak terdapat kaum
intelektual, menjadi bukti tak terbantahkan.
Sebagai intelektual, tak sepatutnya Boni Hargens dkk
menggeruduk Rumah Transisi. Biarkan Jokowi dan timnya bekerja, tak perlu
merecoki. Jika kemudian relawan menuntut dilibatkan, maka dengan mudah
kita menafsirkan ada kepentingan lain di balik dukungan mereka selama
ini.
Kasus ini seolah membuka kotak pandora Tim Jokowi-JK.
Selain soal relawan yang melakukan unjuk rasa, masalah lain juga mulai
bermunculan. Salah satunya benih-benih perpecahan antara Jokowi dan JK
juga dengan partai koalisi pendukungnya karena tak sepakat dengan ide
Jokowi untuk merampingkan kabinet.
Jokowi memang orang baik. Namun ketika orang-orang di
sekelilingnya adalah kaum intelektual yang berkhianat, bangsa ini perlu
merasa khawatir. Hal yang sebelum pilpres berlangsung sudah coba
diingatkan oleh banyak pihak. Jika sudah begini saya pun patut bertanya:
Quo vadis Jokowi?
Erwyn Kurniawan
Follow twitter: @Erwyn2002
Pemerhati Politik Islam dan Media
Follow twitter: @Erwyn2002
Pemerhati Politik Islam dan Media
0 komentar :