JANGAN JUALAN RAKYAT!!!

Admins     14.30  No comments

Masih segar dalam ingatan, ketika rakyat Indonesia bergembira ria dalam proses pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 ini.

Rakyat merasa suara mereka didengar dan menjadi penentu arah politik di Indonesia.

Sebagian rakyat yang memilih PDI P dan Jokowi, menggantungkan harapan mereka pada PDI P dan Jokowi sebagai pelaksana pemerintahan mendatang.

Harapan itu tentu tak muncul tiba-tiba. Harapan itu dibangun dari janji-janji para legislator dan Jokowi ketika kampanye.

Namun, dalam kenyataannya, sebelum memerintah, Jokowi sudah mengkhianati rakyat. Jokowi dan PDI P yang selama 10 tahun ini menyatakan sebagai pembela rakyat kecil dan selalu walk out dalam pembahasan rapat paripurna DPR yang dianggap tak berpihak kepada rakyat, tiba-tiba mendukung kenaikan subsidi BBM. Satu tamparan telak kena di wajah rakyat.

Rakyat banyak yang kecewa dengan kebohongan Jokowi. Padahal menurut Ari Junaedi, Dosen di Universitas Diponegoro Semarang, membahagiakan rakyat itu mudah. "Buatlah dan perjuangkan terus ikhtiar untuk memajukan kehidupan rakyat. Angkat derajat rakyat miskin dan buatlah kami bangga dengan Indonesia Hebat. Berantas terus korupsi, tidak peduli itu keluarga mantan presiden ataupun ketua DPR. Perkuat KPK dan perkuat NKRI, maka rakyat ada dibelakang Jokowi-JK”, demikian ungkap Ari Junaedi.

Namun, telinga PDI P dan Jokowi tak hendak mendengar masukan itu. Mereka terlalu asyik dalam euphoria kemenangan dan kekuasaan.

Bersyukurlah, sebagian besar wakil rakyat itu mau mendengar keluhan konstituen mereka Wakil rakyat yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih dengan gagah berdiri berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat yang didukung kubu Jokowi.

Beberapa momentum politik di DPR pun menjadi saksi kegigihan Koalisi Merah Putih, wakil rakyat yang ingin memperjuangkan kesejahteraan rakyat harus berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat,  koalisi wakil rakyat yang haus kuasa.

Uniknya, dalam beberapa pertarungan politik di parlemen, kubu Jokowi selalu mengalami kekalahan yang bertubi-tubi. Sehingga banyak rakyat yang menyindir kubu Jokowi dengan kalimat: “Salam Gigit Jari” sebagai plesetan dari “Salam Dua Jari”, salam yang digunakan dalam kampanye presiden Jokowi – JK.

Jika kubu Koalisi Merah Putih kalah, maka kubu Jokowi meminta Koalisi Merah Putih dan pendukungnya untuk legowo, seperti dalam sengketa Pilpres 2014 kemarin. Kubu KMP yang mengusung Prabowo dinilai sebagai kubu yang tidak legowo oleh Jokowi-JK dan sekutunya, ketika KMP mengajukan gugatan Pilkada ke MK.

Hal ini ternyata tidak berlaku bagi kubu Jokowi jika mengalami kekalahan. Contoh paling telak adalah penolakan UU MD3 yang diklaim Puan Maharani sebagai perampasan hak.

"Sebagai pemenang pemilu, hak-hak kami diambil, digergaji dan dirampas dalam tanda kutip," ungkap putri Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri, di Jakarta, Jumat, 3 Oktober 2014.

Senada dengan Puan, Ahmad Basarah pun menegaskan bahwa ada pasal dalam UU MD3 yang membuat suara rakyat yang dititipkan di PDI P, dirampas oleh Undang-Undang.

"Pasal ini kami anggap merampas suara rakyat yang sudah diberikan kepada kami," ujar Ahmad Basarah, ketua Fraksi PDI P, di kantor Partai Nasdem, Sabtu, 4 Oktober 2014.

Pernyataan ini menggelikan. Setiap kali PDI P kalah, mereka selalu menjadikan rakyat sebagai perisai dalam upaya meraih kekuasaan di pemerintahan.

UU MD3 yang dituduhkan PDI P sudah merampas amanat rakyat yang dititipkan ke PDI P, sudah disahkan dalam rapat paripurna tanggal 8 Juli 2014. ( Perlu dicatat, saat itu PDI P walk out dalam pengesahannya).

PDI P baru mengajukan Uji Materi UU MD 3 setelah MK memutus perselisihan pilpres dan melihat Kubu Prabowo tak melanjutkan gugatan ke MA. Ini artinya, PDI P melihat peluang kegagalan menduduki kursi pemimpin DPR karena Koalisi Merah Putih secara faktual lebih kuat.

Hal yang sama terjadi dalam pembahasan UU Pilkada. PDI P yang selama kampanye meneriakkan efisiensi APBN dan menyitir pendapat Soekarno mengenai pilkada tak langsung, tiba-tiba mendukung pilkada langsung.

Arya Bima, juru bicara PDI Perjuangan mengatakan, pilkada langsung dianggap sebagai perwujudan demokrasi yang paling mengadaptasi keinginan rakyat. PDI P menuding, Pilkada lewat DPRD, memasung hak rakyat.

"Rakyat akan marah karena partai-partai yang mengambil alih hak rakyat di dalam menentukan kepala daerah, tentunya akan ada sabotase politik, mungkin juga sabotase dukungan," ujar Arya, di Jakarta, 7 September 2014.

Sikap PDI P ini berbanding lurus dengan Partai Demokrat yang sejak dulu mendukung pilkada langsung. Partai Demokrat, melalui SBY sebagai ketua Dewan Pembina,  ikut menjanjikan dukungan kepada PDI P, dengan catatan, harus ada 10 poin koreksi dalam pelaksanaan pilkada langsung tersebut.

Namun sayang PDI P dalam lobi fraksi jelang pengesahan UU Pilkada, tidak menyatakan dengan jelas akan mendukung 10 poin perbaikan yang diusulkan Partai Demokrat.

Hal ini ditanggapi Partai Demokrat sebagai penolakan PDI P. Buntutnya, Partai Demokrat meninggalkan ruang sidang dan membiarkan mekanisme voting terjadi.

Akibatnya, seperti yang sudah diketahui bersama, Koalisi Merah Putih berhasil menghantar RUU Pilkada menjadi UU Pilkada.

Pasca pengesahan UU Pilkada, sejumlah elite PDIP Termasuk Jokowi buka suara.

Jokowi mengaku tak percaya pilkada akan dilakukan lewat DPRD lagi, sebab dukungan rakyat terhadap pilkada langsung begitu besar.

"Saya saja kaget, apalagi rakyat," ujar Jokowi

"Coba bayangkan pilkada tak langsung, mana bisa saya jadi walikota? Mana bisa saya jadi gubernur?", kata Jokowi di Bali, 27 September 2014.

Sekali lagi, rakyat digunakan sebagai tameng. Jokowi tidak berani mendefinisikan rakyat mana yang ia maksud.

'Rakyat kecewa, rakyat marah, rakyat menggugat pilkada tak langsung'.. Kenyataannya, itu semua hanya provokasi semata. Karena sesungguhnya rakyat sudah mulai paham trik-trik politisi PDI P dan kroninya.

Upaya PDI P menihilkan kekuatan rakyat pemilih yang sudah mendudukkan wakilnya sebagai anggota dewan, justru perlu ditelusuri penyebabnya. Jangan lupa, anggota dewan adalah perwujudan rakyat!!

Penegasan Jokowi "tanpa pilkada langsung, ia tak mungkin berkuasa", semakin memperjelas, sekali lagi rakyat dipakai sarana memperoleh kekuasaan. Tentu akan lain nuansanya, jika Jokowi mengatakan, "Tanpa Pilkada langsung, saya tak mungkin melayani rakyat,".

Hasutan agar rakyat berontak dan melawan keputusan DPR mengenai UU Pilkada sempat ramai di ranah media sosial. Anehnya, alih-alih mempertanyakan hak rakyat yang terampas sesuai klaim PDI P, tudingan keji terarah kepada SBY yang dianggap menggagalkan upaya PDI P meraih kekuasaan di daerah.

Belum usai kisruh Pilkada, PDI P dibuat keok lagi dengan penolakan Mahkamah Konstitusi mengenai Uji Materi UU MD3.

Meski awalnya PDI P terlihat legowo, namun akhirnya PDI P menyatakan menggugat 7 hakim MK.

MK menilai bahwa bahwa dalil-dalil yang digunakan pemohon (PDI P)dalam permohonan uji materi UU MD3 tidak beralasan menurut hukum.

Dalam pertimbangan, Mahkamah menyatakan, Pemilu diselengarakan untuk memilih wakil rakyat yang duduk di parlemen. Sedangkan, masalah pemilihan pemimpin DPR menjadi hak anggota DPR untuk memilih dan menentukan pemimpinnya sendiri. Hal demikian lazim dalam sistim presidensial dan multi partai.

Menurut mahkamah, mekanisme pemilihan pemimpin DPR merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legalicy.

"Sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945," tegas Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan hukum.

Patrialis juga menyinggung di DPR tidak ada parpol yang menang mutlak. Artinya, tidak ada parpol yang menguasai DPR.

Jadi, bukan masalah amanat rakyat yang "digergaji", melainkan PDI P tak memperoleh kursi pemimpin DPR. Rakyat? Entahlah...

Sekarang, setelah kegagalan berkali-kali, PDI P mencoba lagi melakukan Uji Materi UU MD3 ke MK. Tujuannya jelas bukan untuk kebaikan rakyat. Tujuannya agar PDI P bisa lolos sebagai pemimpin MPR.

Jadi, semua kesibukan PDI P yang bertudungkan rakyat selama ini, ternyata sama sekali tak ada hubungannya rakyat.

Semua ini dilakukan untuk kuasa, kuasa dan kuasa. PDI P ingin berkuasa mutlak, dari hulu sampai hilir, tanpa check and balance dari parlemen.

Rakyat? Ah, rakyat hanya komoditas yang sangat mudah dijual ke asing dan aseng. Rakyat hanya tameng yang digunakan untuk meraih kuasa tanpa ketahuan rakus.

Sebaiknya, rakyat tidak diam, bersama-sama Koalisi Merah Putih, rakyat harus meneriakkan : PDI P, STOP JUALAN RAKYAT!! (fs)

,

0 komentar :

Recent Post

Proudly Powered by Blogger.