KEMBALI KEPADA KHITHTHAH SISTEM PERWAKILAN

Admins     16.49  No comments

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.

Pasca reformasi, Indonesia mengalami euforia demokrasi dan mengalami liberalisasi dengan sangat cepat dan luar biasa. Walaupun sila ke-4 Pancasila menyatakan dengan tegas “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, tetapi kata demokrasi seolah menjadi mantra yang membius dan melenakan para pengambil kebijakan, terutama di tingkat pusat. Presiden dan wakil presiden yang sebelumnya dipilih dalam lembaga permusyawaratan (MPR), kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat dimulai pada Pilpres 2004.

Jadilah demokrasi Indonesia menjadi ultra liberal. Dikatakan ultra liberal, karena mekanisme demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden RI lebih liberal dibandingkan Amerika Serikat yang sering disebut sebagai biang negara dengan paham liberal. Sebab, di Amerika, presiden dan wakil presiden ditentukan oleh electoral college, bukan popular vote.

Kasus yang paling fenomenal karena mekanisme ini adalah kemenangan Bush yunior atas Algore, walaupun perolehan suara dukungan partai yang mengajukan Bush lebih kecil dibandingkan Algore. Sedangkan di Indonesia, perolehan suara pemilihlah yang menentukan. Asal memperoleh suara dukungan terbanyak dari pemilih, maka pasangan presiden/wakil presiden menjadi pemenang Pemilu.

Selang hanya kurang lebih dua tahun saja setelah mekanisme ultra liberal tersebut diterapkan untuk memilih pasangan presiden dan wakil presiden, mekanisme tersebut juga diterapkan untuk memilih kepala daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi setelah dilakukan revisi terhadap Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Inisiatif untuk menyelenggarakan Pilkada secara langsung dilatarbelakangi terutama oleh fenomena praktik politik uang yang terjadi di DPRD, melibatkan para calon kepala daerah dan anggota DPRD, pada setiap menjelang pemilihan kepala daerah.

Karena itu, para tokoh elite politik di tingkat nasional, yang memiliki kewenangan legislasi, melihat signifikansi perubahan mekanisme dari pemilihan oleh DPRD menjadi pemilihan secara langsung. Asumsi mereka saat itu, jika dipilih secara langsung oleh rakyat, maka tidak akan ada lagi praktik politik uang, karena jumlah pemilih terlalu banyak.

Namun, ternyata asumsi tersebut keliru total. Ternyata, walaupun jumlah pemilih sangat banyak, tetap saja para calon kepala daerah yang berkompetisi untuk memperebutkan posisi tertinggi dalam rumpun kekuasaan eksekutif daerah tersebut seolah berlomba-lomba untuk membeli suara. Akibatnya, praktik politik tetap saja terjadi, bahkan menjadi sangat masif.

Taruhlah masalah tingginya anggaran penyelenggaraan Pilkada sebagai sesuatu yang bisa diabaikan, tetapi ternyata ada dampak negatif lain yang sesungguhnya sangat memprihatinkan.

Dalam setiap penyelenggaraan Pilkada, hampir selalu terjadi konflik horizontal yang memakan korban nyawa. Bahkan baru-baru ini, saya berkesempatan bertemu dengan beberapa tokoh Papua yang datang ke Jakarta untuk keperluan menyempurnakan aturan main tentang Otsus Papua, yang menginginkan agar Pilkada dikembalikan lagi ke DPRD. Menurut mereka, di daerah-daerah mereka sering jatuh korban dari puluhan sampai ratusan nyawa dalam setiap Pilkada. Dan dalam adat mereka, harus ada semacam ritual “ganti kepala” sebagai syarat kepala daerah yang terpilih mendapatkan legitimasi dan bisa menjalankan roda pemerintahan daerah. Namun, untuk itu, diperlukan biaya hampir lima puluh milyar.

Visi Musyawarah

Para pendiri bangsa Indonesia sesungguhnya telah memiliki visi yang jauh ke depan tentang mekanisme pengambilan keputusan untuk negara-bangsa Indonesia. Nampaknya, mereka memiliki paradigma yang sangat komprehensif mengenai Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang sangat besar dan sangat kaya kebhinnekaan dengan segala konsekuensinya. Karena itu, dalam konteks pengambilan keputusan, meraka menjadikan mekanisme permusyawaratan/perwakilan sebagai pilihan. Sampai-sampai hal tersebut diletakkan dalam salah satu sila Pancasila sebagai dasar negara. Dengan mekanisme ini, diharapkan bisa dilahirkan produk kebijakan politik yang baik dan sesuai dengan situasi, kondisi, dan jiwa negara-bangsa Indonesia yang harus terus mengalami kemajuan. Terlebih konsep musyawarah sesungguhnya tidak akan memungkinkan lahir kebijakan politik yang buruk.

Namun, pasca reformasi, terjadi euforia demokrasi yang tidak terkendali. Sistem demokrasi liberal kemudian diadopsi secara serampangan. Padahal situasi dan kondisi negara-negara Barat yang menganut demokrasi liberal jauh berbeda dengan situasi dan kondisi negara-bangsa Indonesia. Indonesia bahkan bisa dikatakan negara yang sangat unik dibandingkan dengan negara-negara lain di seluruh muka bumi ini. Jika ras dan agama di negara-negara Barat relatif homogen, keduanya di Indonesia sangatlah beragam. Realitas inilah yang nampaknya ditangkap dengan sangat baik oleh para pendiri bangsa, sehingga bahkan lahirlah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Inilah yang tidak dilihat oleh para politisi pasca reformasi, sehingga kemudian menjadikan Indonesia menjadi sangat berbeda dengan visi para pendiri bangsa yang telah melihat Indonesia dengan sangat visioner.

Pengalaman-pengalaman yang muncul sebagai ekses negatif penyelenggaraan demokrasi ultra liberal di Indonesia, seharusnya menyadarkan para pengambil kebijakan di negeri ini bahwa negara-bangsa kita benar-benar adalah negara-bangsa yang sangat unik. Karena itu, sistem politiknya pun tidak bisa secara latah diadopsi dari negara-negara lain yang memiliki latar belakang lingkungan yang juga sangat berbeda.

Dan kesadaran ini mestinya membuat mereka memiliki sikap baru bahwa hanya meniru sebuah sistem, tak terkecuali sistem politik, tertentu tanpa mempertimbangkan segala hal yang melingkupinya, sesungguhnya merupakan indikator kompleks rendah diri sebagai warga bangsa yang sesungguhnya juga memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan negara-negara lain.

Dalam konteks ini, Indonesia tidak perlu malu “dituduh” tidak demokratis oleh negara-negara lain hanya karena memilih pemimpin-pemimpinnya melalui lembaga perwakilan. Jika seluruh pemimpin eksekutif, dari level pusat sampai kabupaten/kota, dipilih kembali oleh lembaga legislatif, maka sesungguhnya itu justru mengembalikan jati diri negara-bangsa yang berdasarkan Pancasila. Pancasila inilah yang menjadi khiththah dalam berbangsa dan bernegara Indonesia. Dan inilah demokrasi ala Indonesia, sebagaimana banyak negara lain yang memiliki mekanisme beragam, tetapi juga tetap mengklaim sebagai demokratis.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

*Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ
Guru Utama di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE
(Dimuat Harian Umum Pelita, Rabu 10/9/2014)

,

0 komentar :

Recent Post

Proudly Powered by Blogger.