DALAM diskusi
bedah buku berjudul “ 9 Alasan Memilih Jokowi menjadi Presiden..”,
seorang pembicara, dosen perguruan tinggi di Jakarta, kebetulan bernama
Joko mengingatkan agar masyarakat jangan terus – terusan menyanjung
Jokowi. Sanjungan, dia mengistilahkan ‘memangku’ Jokowi harus segera
dihentikan, begitu Jokowi telah terpilih menjadi presiden. Dosen yang
kebetulan berasal dari Solo ini khawatir, jika selamanya ‘dipangku’,
seseorang bisa terlena dan lupa akan janji- janjinya kepada rakyat yang
telah memilihnya.
Kekhawatiran semacam itu cukup beralasan mengingat tugas Jokowi sebagai presiden semakin berat. Lebih berat dari sekadar mengurus Solo dan Jakarta. Jauh lebih berat ketimbang memenangkan pilpres.
Menyadari tugas yang semakin berat dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan negara, maka presiden terpilih perlu dukungan konkret dari berbagai kalangan, termasuk para simpatisannya.
Hanya saja dukungan dimaksud bukan lagi sanjungan. Euforia (kegembiraan yang berlebihan) kepada Jokowi yang telah terpilih sebagai Presiden RI ke-7 saatnya dihentikan. Yang diperlukan saat ini dukungan berupa kritikan, masukan agar tidak melenceng dalam menjalankan amanat rakyat.
Kita, warga negara Indonesia wajib mengawal Pemerintahan Jokowi – JK. Mengawal berarti pula mengkritisi kebijakan yang tidak prorakyat, meluruskan jika sudah melenceng dari kehendak rakyat. Mengingatkan jika mulai melanggar dari janji- janjinya.
Banyak janji yang telah dilontarkan pasangan Jokowi – JK ketika kampanye pilpres. Janji kepada petani, nelayan, buruh, sektor informal, bahkan kepada korban lumpur Lapindo.
Membangun kemandirian dan perekonomian prorakyat merupakan janji yang sangat ditunggu- tunggu.
Kemandirian, tidak adanya intervensi asing dalam perekonomian menjadi penting untuk segera diaplikasikan seperti merevisi kerjasama dengan perusahaan asing menyangkut sumber alam yang selama ini dinilai merugikan Indonesia.
Dalam waktu dekat ini yang perlu dikritisi terkait penyusunan kabinet. Jauh hari sebelumnya telah ditegaskan bahwa kabinet yang akan dibangun bukan atas dasar titipan parpol pendukung koalisi.
Kabinet berdasarkan profesionalitas, siapapun orangnya (dari unsur manapun, boleh dari parpol) asal profesional.
Jika ingin benar – benar profesional saatnya diterapkan larangan rangkap jabatan. Artinya tidak diperbolehkan lagi seorang menteri menjabat sebagai pimpinan parpol.Memang tidak ada UU yang melarang menteri merangkap sebagai pemimpin parpol, tetapi etika dan fatsun politik hendaknya mulai diterapkan agar keadilan dapat ditegakkan. Di sinilah diperlukan ketegasan Jokowi untuk menolak calon menteri dari parpol, jika tidak bersedia menanggalkan jabatannya di parpol. Sikap ini sekaligus untuk membuktikan janjinya kepada rakyat bahwa kabinet yang terbentuk bukan bagian dari kompensasi pemenangan pilpres. [poskotanews]
Kekhawatiran semacam itu cukup beralasan mengingat tugas Jokowi sebagai presiden semakin berat. Lebih berat dari sekadar mengurus Solo dan Jakarta. Jauh lebih berat ketimbang memenangkan pilpres.
Menyadari tugas yang semakin berat dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan negara, maka presiden terpilih perlu dukungan konkret dari berbagai kalangan, termasuk para simpatisannya.
Hanya saja dukungan dimaksud bukan lagi sanjungan. Euforia (kegembiraan yang berlebihan) kepada Jokowi yang telah terpilih sebagai Presiden RI ke-7 saatnya dihentikan. Yang diperlukan saat ini dukungan berupa kritikan, masukan agar tidak melenceng dalam menjalankan amanat rakyat.
Kita, warga negara Indonesia wajib mengawal Pemerintahan Jokowi – JK. Mengawal berarti pula mengkritisi kebijakan yang tidak prorakyat, meluruskan jika sudah melenceng dari kehendak rakyat. Mengingatkan jika mulai melanggar dari janji- janjinya.
Banyak janji yang telah dilontarkan pasangan Jokowi – JK ketika kampanye pilpres. Janji kepada petani, nelayan, buruh, sektor informal, bahkan kepada korban lumpur Lapindo.
Membangun kemandirian dan perekonomian prorakyat merupakan janji yang sangat ditunggu- tunggu.
Kemandirian, tidak adanya intervensi asing dalam perekonomian menjadi penting untuk segera diaplikasikan seperti merevisi kerjasama dengan perusahaan asing menyangkut sumber alam yang selama ini dinilai merugikan Indonesia.
Dalam waktu dekat ini yang perlu dikritisi terkait penyusunan kabinet. Jauh hari sebelumnya telah ditegaskan bahwa kabinet yang akan dibangun bukan atas dasar titipan parpol pendukung koalisi.
Kabinet berdasarkan profesionalitas, siapapun orangnya (dari unsur manapun, boleh dari parpol) asal profesional.
Jika ingin benar – benar profesional saatnya diterapkan larangan rangkap jabatan. Artinya tidak diperbolehkan lagi seorang menteri menjabat sebagai pimpinan parpol.Memang tidak ada UU yang melarang menteri merangkap sebagai pemimpin parpol, tetapi etika dan fatsun politik hendaknya mulai diterapkan agar keadilan dapat ditegakkan. Di sinilah diperlukan ketegasan Jokowi untuk menolak calon menteri dari parpol, jika tidak bersedia menanggalkan jabatannya di parpol. Sikap ini sekaligus untuk membuktikan janjinya kepada rakyat bahwa kabinet yang terbentuk bukan bagian dari kompensasi pemenangan pilpres. [poskotanews]
0 komentar :