Langkah presiden terpilih Joko Widodo membentuk Tim
Transisi, tidak hanya mendapat acungan jempol. Kritik pedas juga menerpa
terkait komposisi tim tersebut. Ada penilaian, tim yang kini dihuni 5
orang tersebut tidak merepresentasikan kelompok pendukungnya.
Pengamat politik dari Universitas Wahid Hasyim, Semarang,
Agus Riyanto menilai, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK)
seharusnya melibatkan partai pendukung yang berperan dalam proses
pemenangannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
"Koalisi yang dibentuk memang tanpa syarat, akan tetapi
dalam berbagai kebijakan, Jokowi harusnya sering mengajak komunikasi
partai pendukungnya," ujar Agus kepada wartawan di Jakarta, Kamis (7/8).
Sebagai dosen Ilmu Politik, Agus menyarankan Jokowi
menggandeng partai pendukung di dalamnya. "Sangat disayangkan, dengan
komposisi saat ini, kelompok nahdliyin yang direpresentasikan oleh PKB
akan kecewa. Bukan rahasia lagi, selama ini PKB yang membentengi Jokowi
atas berbagai isu agama yang menyerangnya, Hanura dan PKPI juga pasti
kecewa," ujarnya.
Agus melihat, dari sisi kapasitas dan kredibilitas, masih
banyak kader PKB, Hanura, dan PKPI yang mampu duduk di tim transisi.
"Banyak kader PKB, Hanura, dan PKPI yang lebih mumpuni dan
berpengalaman," ujarnya.
Jika tidak ada komunikasi dengan partai-partai pendukung,
Agus mengatakan posisi Jokowi-JK akan lemah di parlemen. "Kalau tidak
diakomodir, ini bisa berbahaya bagi pemerintahan Jokowi-JK ke depan,"
kata lulusan doktor dari Universitas Gadjah Mada ini.
Sebagai contoh, kemenangan Jokowi-JK di Jawa Timur, dan
Jawa Tengah, tidak bisa dilepaskan dari peran PKB yang pasang badan
untuk memenangkan Jokowi. Begitu juga daerah lain yang menjadi basis
PKB. "Selama ini PKB pasang badan, andaikan tidak ada PKB di kubu
Jokowi-JK, maka akan susah meng-counter isu agama yang ditujukan ke
Jokowi," ujar Agus.
Diketahui, Tim Transisi ini dipimpin oleh Rini M Soemarno.
Di bawah kendalinya ada empat deputi antara lain, Anies Baswedan, Hasto
Kristiyanto, Andi Widjojanto, dan Akbar Faizal.
Agus membeberkan, keberadaan Rini Soemarno sebagai Kepala
Staf Kantor Transisi Jokowi-JK, akan menjadi ancaman bagi solidaritas
politik dan integritas moral presiden terpilih Joko Widodo. "Pasalnya,
Rini Soemarno, dinilai bukanlah figur yang mampu merepresentasikan
politik bersih yang menjadi harapan rakyat."
Penunjukan Rini Soemarno memimpin aktivitas Kantor
Transisi, dinilai justru menjadi beban dan melemahkan Jokowi secara
moral politik, karena mantan istri Didik Soewandi ini punya beban
politik masa lalu, terkait dugaan keterlibatan Rini dalam kasus korupsi
penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang merugikan negara triliunan rupiah.
Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang dulu
dikenal dengan Rini M.S Soewandi, juga sempat diperiksa penyidik
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, terkait kasus dugaan korupsi penjualan
aset pabrik gula RNI (Rajawali Nusantara Indonesia). Bahkan dalam kasus
pembelian pesawat sukhoi, Rini yang pernah menjabat Presdir Astra
Internasional, disebut DPR melakukan pelanggaran UU Pertahanan dan UU
APBN. "Sehingga secara moral, adik mantan Dirut Pertamina dan Dirut
Petral Ari Soemarno ini, bakal menjadi beban tersendiri bagi Jokowi."
Sementara Anies Baswedan, lanjut Agus, masih tergolong baru
di dunia politik. Rektor non aktif Universitas Paramadina berdarah
masyumi ini disebut 'penumpang gelap' dalam koalisi Jokowi-JK. Pada
2013, ia ikut konvensi presiden dari Partai Demokrat. Elektabilitasnya
bahkan kalah dengan Dahlan Iskan. Karena suara Demokrat 'terjun bebas'
pada Pileg Juli 2014 lalu, dan tidak mendapatkan mitra koalisi untuk
mengajukan capres. Anies lalu merapat ke Jokowi-JK. "Anies tidak punya
pengalaman politik riil di lapangan, apalagi di parlemen," tandas Agus.
Dari PDIP ada dua orang. Hasto Kristiyanto dan Andi
Widjojanto. Hasto mantan aktivis GMNI yang belakangan namanya sering
muncul di media karena saban hari mengikuti Jokowi. Sementara Andi,
putra almarhum Mayjen (purn) Theo Syafi'i. Sejak ikut Jokowi, ia disebut
mundur dari dosen FISIP Universitas Indonesia. "Semua mafhum, Andi
Widjojanto termasuk anak muda yang 'disayangi' Mega karena menghargai
jasa Theo dalam membela PDIP ketika zaman represi Orde Baru."
Yang terakhir, Akbar Faizal, politisi Partai Nasdem. Ia
dinilai Agus tergolong politisi kutu loncat yang lincah dan pintar
mencari peluang. Mantan aktivis HMI ini memulai karier politiknya di
Partai Demokrat. Karena kalah bersaing di partai itu, Akbar pindah ke
Partai Hanura dan maju menjadi caleg pada Pemilu 2009 dan ia lolos ke
parlemen. Melihat karier di Hanura tidak terlalu moncer, ia kemudian
bergabung ke Nasdem. Pada Pileg kemarin, Akbar kembali lolos menjadi
anggota DPR.
Kelima orang tersebut dipilih Jokowi untuk menyiapkan
strategi program unggulan mantan Wali Kota Solo itu, termasuk menyiapkan
transisi pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke
pemerintahan yang baru. Namun menurut Agus, formasi tim transisi itu
kesannya justru asal comot daripada pertimbangan representasi parpol
pendukung, atau aspirasi politik aliran. Kesannya diam-diam karena ketua
umum parpol koalisi pun tidak diajak bicara.
sumber: jpnn
0 komentar :