JAKARTA - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimmly
Assidiqqi menilai aksi penarikan diri dan penolakan hasil rekapitulasi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dilakukan kubu Prabowo-Hatta tidak
melanggar undang-undang.
Menurut Jimmly, aksi tersebut tidak menggangu jalannya pemilu karena dilakukan setelah proses pemilu selesai.
"Hukuman di undang-undang terkait pengunduran diri itu saat pencalonan, kalau sekarang bukan pencalonan dan tidak mengganggu proses pemilu, jadi pasal pidana di UU Pilpres tidak bisa diterapkan," ujar Jimmly saat ditemui di kantornya, Selasa (22/7/2014).
Menurutnya, pasangan Prabowo-Hatta tidak melakukan pengunduran diri, namun hanya menolak hasil keputusan KPU. Hal itu dianggap wajar dan sering terjadi ketika ada pihak yang merasa ada kejanggalan atau kecurangan dalam pemilu.
Menurut Jimmly, aksi tersebut tidak menggangu jalannya pemilu karena dilakukan setelah proses pemilu selesai.
"Hukuman di undang-undang terkait pengunduran diri itu saat pencalonan, kalau sekarang bukan pencalonan dan tidak mengganggu proses pemilu, jadi pasal pidana di UU Pilpres tidak bisa diterapkan," ujar Jimmly saat ditemui di kantornya, Selasa (22/7/2014).
Menurutnya, pasangan Prabowo-Hatta tidak melakukan pengunduran diri, namun hanya menolak hasil keputusan KPU. Hal itu dianggap wajar dan sering terjadi ketika ada pihak yang merasa ada kejanggalan atau kecurangan dalam pemilu.
"Jadi dalam perselisihan Pilkada, Pileg maupun Pilpres banyak yang menarik diri tidak menjadi saksi. Itu wajar dan banyak terjadi," katanya.
Untuk itu, aksi pengunduran diri kubu Prabowo-Hatta harus dihargai oleh seluruh masyarakat indonesia. Jimmly juga mengimbau agar proses penyelesaian perselisihan dalam perhitungan suara masih dapat ditempuh melalui jalur hukum ke Makhkamah Konstitusi (MK).
Sebagaimana tercantum dalam pasal 22 UU No 42 tahun 2008 tentang Pilpres dimana calon presiden atau wakil presiden dilarang mengundurkan diri selama proses pemilihan suara berlangsung.
Ditempat terpisah, Letjend Purn TNI Suryo Prabowo menyatakan "Siapapun yang merasa dirugikan, berhak mengajukan gugatan ke MK bila
memang punya bukti dan saksi yang cukup kuat. Kami punya bukti
kecurangan pilpres ini bersifat masif, terstruktur dan sistematis."
Prabowo, lanjut Suryo juga akan berjuang sampai habis-habisan demi
menegakkan kebenaran yang diyakininya. Dikatakannya, jika ada pihak yang
bersuara jangan mengajukan guggatan ke MK, pendapat tersebut telah
melecehkan rasa keadilan.
Lebih jauh Suryo menjelaskan berbagai kecurangan pada pilpres sudah
disampaikan kepada KPU. Bawaslu sebagai lembaga negara resmi yang
mengawasi pilpres juga berpendapat serupa.
"KPU tetap menutup mata dan telinga terhadap kecurangan tersebut. Prinsip jujur dan adil dalam Pemilu diabaikan begitu saja," ujarnya.
Menurut Suryo, pengumuman KPU belum dapat menjadi legitimasi seseorang untuk bisa menjadi Presiden. "Selama masih ada masalah dan masalah tersebut belum diselesaikan MK, maka belum ada keputusan tetap yang bersifat mengikat", tegasnya.
"KPU tetap menutup mata dan telinga terhadap kecurangan tersebut. Prinsip jujur dan adil dalam Pemilu diabaikan begitu saja," ujarnya.
Menurut Suryo, pengumuman KPU belum dapat menjadi legitimasi seseorang untuk bisa menjadi Presiden. "Selama masih ada masalah dan masalah tersebut belum diselesaikan MK, maka belum ada keputusan tetap yang bersifat mengikat", tegasnya.
0 komentar :