Oleh: Rianda Febrianti – Mahasiswi Psikologi
Koordinator Kajian 1, Komunitas Penggenggam Hujan
Universitas Indonesia
Koordinator Kajian 1, Komunitas Penggenggam Hujan
Universitas Indonesia
Selama ini, kaum LGBT merasakan bahwa mereka adalah masyarakat
minoritas yang sering didiskriminasi oleh masyarakat mayoritas. Tidak
hanya di Indonesia, diskriminasi dan bullying pada kaum ini banyak juga
dilakukan di berbagai negara.
Sekian lama merasa ‘tertindas’ dengan perlakuan masyarakat, mereka
pun membentuk komunitas untuk saling menyemangati dan mendukung satu
sama lain. Lama kelamaan muncul upaya dari komunitas gay ini untuk
memperjuangkan ‘hak’ mereka agar diakui di masyarakat dan perilaku
mereka dilindungi oleh hukum. Komunitas ini pun bergerak dan masuk
tataran politik untuk membuat mereka legal dalam konstitusi. Gerakan
atau upaya untuk diakui dan dilindungi secara konstitusi ini dikenal
dengan istilah gay politic.
Dalam buku “Homosexuality and The Politics of The Truth”,
Satinover (1996), seorang psikiater, menyatakan bahwa kaum ini bukan
sedang memperjuangkan kebenaran namun cenderung melakukan segala cara
untuk mencapai tujuan mereka.
Termasuk di antaranya memunculkan argumentasi-argumentasi yang
bersifat ilmiah dalam gerakan mereka. Ada tiga alasan yang mereka
paparkan menurut Satinover, yaitu, homoseksual bawaan genetis atau
dikenal dengan “born that way”, tidak dapat dipulihkan secara
psikologis, dan secara sosiologi mereka dipandang normal. Pada
kenyataannya, pernyataan-pernyataan ilmiah yang pro-gay banyak juga
disangkal oleh para saintis di berbagai bidang. Satinover dalam bukunya
menyangkal tiga argumentasi-argumentasi tersebut.
Perdebatan ilmiah tentang homoseksual sudah terjadi dari tahun
1970-an hingga sekarang (Kania, 2014). Hasil penelitian yang paling
sering mereka gunakan untuk kampanye dan gay politics adalah
penelitian pada anak kembar yang diadopsi, yang dilakukan oleh Bailey
dan Pillard (1991), penelitian tersebut mencapai kesimpulan bahwa ada
gen homoseksual pada manusia.
Namun, ternyata penelitian lanjutan tentang homoseksual itu pada
hubungan keluarga yang dilakukan oleh peneliti Bailey dkk (1999)
menunjukkan bahwa X-linkage gen tidak mempengaruhi orientasi seksual pada laki-laki, dan hasil ini tidak mendukung penelitian mereka sebelumnya.
Penelitian lain yang sering dimunculkan oleh kaum gay adalah
penelitian yang dilakukan Hamer dkk (1993) yang menunjukkan bahwa
homoseksual berhubungan dengan kromosom X yang diturunkan Ibu kepada
anak laki-lakinya yang homoseksual. Namun, hasil penelitian ini kontras
dengan hasil Rice dkk (1999) yang melakukan replika penelitian dengan
sampel yang lebih besar di daerah Kanada, hasil itu menemukan bahwa
kromosom X tidak mendukung homoseksual. Dan hasil dari Hamer dkk masih
dipertanyakan legitimasinya.
Bermodal ‘legitimasi’ yang masih kontroversial di dunia akademis,
mereka menggunakan modal itu untuk diakui dan menghapus stigma tentang
mereka pada masyarakat di seluruh dunia melalui gay politic lalu berupaya mengukuhkan eksistensi mereka dalam konstitusi negara.
Dalam menjalankan aksinya, mereka pun membuat kampanye yang rapih dan
masif di berbagai media dan komunitas. Mereka melakukan parade
solidaritas dan bersama-sama menampilkan diri ke publik dan masuk ke
berbagai media, seperti majalah, film, musik, media sosial dan diskusi
publik. Mereka menggunakan pelangi sebagai simbol untuk menunjukkan
bahwa masyarakat harus mentoleransi perbedaan mereka karena manusia
beragam seperti pelangi.
Mereka juga menampilkan diri sebagai golongan minoritas yang
tertindas dan patut dilindungi. Gerakan ini bukan gerakan yang tidak
bergigi, sudah beberapa negara akhirnya memenuhi mimpi mereka untuk
diakui dan dilindungi eksistensinya dalam konstitusi negara. Beberapa di
antaranya adalah negara Belanda, Amerika Serikat, Perancis bahkan
Bagian Hak Asasi Manusia PBB telah membantu kampanye mereka.
Mereka juga membuat istilah ‘homofobia’, istilah ini muncul pertama
kali di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1960. Istilah ini kemudian
digunakan oleh seorang psikolog klinis asal Amerika Serikat bernama
George Weinberg dalam bukunya Society and the Healthy Homosexual pada tahun 1972 (Anderson, 2013). Homofobia digambarkan sebagai ketakutan yang tidak rasional atau ekstrim pada kaum homoseksual.
Istilah ini dilekatkan kepada masyarakat yang menolak keberadaan
mereka, penggunaan istilah ini dalam kampanye mereka sebenarnya sebuah
upaya membalikkan posisi psikososial, bahwa mereka yang normal dan
masyarakat penolak mereka yang abnormal karena ‘fobia’ menggambarkan
kondisi psikologis yang abnormal. Penggunaan istilah homofobia digunakan
dalam gerakan mereka untuk menormalkan homoseksual dalam masyarakat.
Agama Sebagai Dinding Penghalang
Namun ternyata, agama masih menjadi penghalang terkuat perjuangan
kaum gay ini (Divisi Litbang dan Pendidikan Komisi Nasional Perempuan,
2008). Dogma agama yang kuat pada masyarakat dapat menghalangi upaya
mereka menginternalisasi keyakinan tentang adanya keragaman orientasi
seksual dan ‘hak’ mereka untuk diakui dalam masyarakat. Bila dilihat
dengan perspektif Islam, hukum tentang kaum gay ini sudah jelas dan
tegas.
Berbeda dengan paradigma Barat, tidak ada relativitas nilai dalam
Islam, Islam adalah agama yang memiliki nilai dan konstitusi yang
absolut namun dinamis, tetap dimanapun dan kapanpun, namun ada ruang
penyesuaian kondisi yang boleh dilakukan selama tidak menentang
hukum-hukum yang telah Allah Swt tetapkan.
Surat Al A’raf ayat 80-84 dan surat Hud ayat 77-82 secara terang
menjelaskan bahwa Kaum Sodom atau Umat Nabi Luth adalah kaum homoseksual
yang menerima peringatan dari Nabi Luth karena menjadi kaum yang jahil
dan melakukan hubungan sesama jenis, yang kemudian dibinasakan oleh
Allah Swt karena mengabaikan peringatan dan tidak kunjung beriman dan
bertaubat kepada Allah Swt.
Mereka dibinasakan pada waktu subuh. Sayangnya, ayat yang sejelas ini
pun, masih ditafsirkan secara keliru oleh kaum liberal. Mereka masih
berupaya agar kaum gay ini diakui dengan menafsirkan bahwa Kaum Sodom
mendapat adzab Allah bukan karena orientasi seksualnya namun lebih
karena mereka memaksa untuk berhubungan dengan tamu Nabi Luth yang
merupakan jelmaan malaikat. Tafsir kaum liberal tersebut tentu terasa
memaksa.
Fitrah Dasar dan Homoseksual dalam Islam
Allah Swt sebagai Pencipta Alam Semesta ini tahu yang paling baik
bagi umat manusia. Dia Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Segala hukum
dan aturan yang telah Dia turunkan melalui Al Quran dan Sunnah adalah
yang terbaik dan tidak akan bertentangan dengan fitrah manusia. Ketika
ada sesuatu yang tidak sesuai atau berbeda dengan kondisi yang
seharusnya maka sebenarnya itu adalah ujian. Fitrah adalah sifat dasar
yang ada dalam diri manusia sejak awal penciptaannya. Dia menciptakan
laki-laki dan perempuan dan menjadikannya berpasang-pasangan lawan jenis
(heteroseksual) seperti yang tertulis dalam Surat An-najm ayat 45,
“Dan sesungguhnya, Dialah yang menciptakan pasangan, laki-laki dan perempuan.”
Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan pun Allah Swt
menegaskan sejumlah peraturan agar manusia tidak terjerumus kepada
lembah kehinaan. Rasulullah Saw mengajarkan muslim untuk beradab dalam
bergaul, menjaga aurat dan batasan.
Dalam Islam, ada beberapa macam kelainan yang berkaitan dengan jenis kelamin (dalam Kania, 2014), khunsa
atau seseorang yang memiliki dua alat kelamin atau tidak memiliki alat
kelamin. Imam Al Kasani berpendapat bahwa tidak bisa seseorang menjadi
laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Khunsa terbagi khunsa ghairul musykil (mudah) dan khunsa al musykil (sulit). Oleh para ulama fiqh, dalam mempertimbangkan ahli waris khunsa ghairul musykil
akan dilihat dari tanda-tanda bentuk fisiknya, bila ia tumbuh dengan
tanda fisik laki-laki maka dirinya laki-laki begitu juga sebaliknya.
Sedangkan, menurut Ibnu Qudamah, khunsa al musykil, adalah
kasus dimana sulit diidentifikasi secara fisik sehingga dalam
penentuannya, mereka ditanyai dirinya laki-laki atau perempuan. Bila ia
mengaku perempuan maka ia hanya boleh menikah dengan laki-laki, begitu
juga sebaliknya.
Untuk zaman sekarang masalah ini, biasanya diatasi melalui pengecekan
medis sehingga diidentifikasi apakah jenis kelamin bawaannya dan
setelah dilakukan pengecekan akan dilakukan tindakan operasi untuk
memudahkan kehidupan orang tersebut dalam menjalankan perannya. Tindakan
operasi ini berbeda dengan pergantian yang dilakukan orang yang telah
jelas jenis kelaminnya namun menginginkan jenis kelamin yang lain
melalui operasi atau transgender.
Jenis kedua adalah Al-mukhannast, yaitu, laki-laki secara kelamin namun bersifat feminin atau menyerupai perempuan dan Al Mutarajjil,
yaitu, perempuan secara fisik namun bersifat maskulin atau
kelaki-lakian. Namun, masih memiliki kecenderungan orientasi seksual
yang normal. Al mukhannast dan Al mutarajjil yang
dibuat-buat dilarang dan dibenci oleh Allah swt. Namun, bila tidak
dibuat-buat atau bawaan, tidak dilaknat namun, sebisa mungkin dikurangi
kecenderungan untuk berperilaku demikian.
Jenis terakhir adalah Liwath (gay) dan As-sihaq (lesbian), golongan ini tidak termasuk dalam khunsa dan Al mukhannast/Al mutarajjil yang diatur dalam Islam. Mereka laki-laki atau perempuan secara fisik namun mencintai sesama jenis.
Menurut para ulama, golongan inilah yang menjadi kaum Nabi Luth As
adalah kaum yang diadzab oleh Allah Swt. Hukum bagi mereka ini, menurut
para ulama, baru dikenai ketika mereka sudah melakukan perbuatan
hubungan sesama jenis. Namun, ketika baru berupa niat dalam hati dan
belum dilakukan, maka mereka belum berbuat dosa, kecuali terkena
penyakit hati yang dapat dipulihkan.
Bagi kaum homoseksual, perbedaan mereka dengan manusia kebanyakan
dapat menimbulkan kerisauan dan ketidaknyamanan. Sebagian mereka merasa
bahwa kegelisahan dan ketidaknyamanan itu muncul karena mereka harus
menyembunyikan orientasi seksual mereka atau kekhawatiran tidak diterima
atau mendapat perlakuan buruk dari masyarakat.
Ada juga yang merasa depresi karena merasa ada yang salah dengan
dirinya karena berbeda orientasi seksualnya dan ingin menjadi seseorang
dengan jenis kelamin yang berbeda dengan keadaannya, namun takut dengan
keluarga atau lingkungan. Sebenarnya ketika didalami, kegelisahan dan
ketidaknyamanan itu bukan karena faktor eksternal tapi dari internal
mereka sendiri. Ada konflik antara fitrah dan dorongan yang besar untuk
menentang fitrah itu. Hal tersebut semakin diperparah dengan tekanan
dari eksternal seperti pengucilan, bullying, caci maki, kekerasan atau
hinaan yang membuat mereka semakin terpuruk.
Ketidaktahuan dan minimnya penghayatan tentang agama membuat mereka
tidak menjadikan agama atau ibadah kepada Allah Swt sebagai solusi atas
permasalahan mereka. Mereka sekuat tenaga berusaha mencari ketenangan,
termasuk di antaranya mengubah penampilan, operasi kelamin bagi
transgender atau menikah dengan sesama jenis. Mereka merasa bahwa ketika
bebas berekspresi, dipandang normal dan diterima di tengah masyarakat
mereka akan terbebas dari stress atau masalah.
Sayangnya tidak, masalah akan terus semakin parah pada kehidupan
selanjutnya, salah satu kasus adalah ketika mereka menikah lalu
mengadopsi anak, lalu anak tersebut bingung dan kesal dengan keadaan
keluarganya yang tidak normal dan perilaku anaknya pun menjadi masalah
dan tekanan yang lebih besar untuk mereka.
Belum lagi masalah sosial seperti keambiguan seksual dan kekacauan
nasab atau keturunan yang akan terus menimbulkan masalah-masalah baru.
Dan percayalah, segala sesuatu yang tidak diridhai oleh Pencipta Alam
Semesta ini pasti akan buruk untuk kehidupan dan peradaban manusia.
Yakinlah, dimana ada perintah-Nya, maka ada kemaslahatan, pun sebaliknya
dimana ada larangan maka ada kemudharatan.
Ketika kaum LGBT semakin jauh dari cahaya Islam, maka semakin pelik
dan sulit bagi mereka keluar dari masalah itu. Menentang fitrah, ibarat
memilih hutan rimba yang tiada bertepi sedangkan ia sebenarnya bisa
mengikuti jalan lurus, walaupun harus keras dan berliku. Namun, ketika
ia semakin jauh dari jalan lurus, semakin ia tersesat dan ditimpa lebih
banyak masalah besar bahkan dapat menjadi mangsa hewan buas di hutan
yang tiada bertepi itu.
Mendakwahi Mereka dengan Cara yang Baik
“Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah, nasehat dan cara yang baik, bertukar pikiran dengan mereka dengan argumen yang terbaik…” (QS. An-Nahl: 125)
Melihat kasus LGBT, gerakan dan masalah yang mereka hadapi, sebagai
muslim kita butuh untuk membuka diri terhadap masalah mereka dengan cara
yang lebih bijak dan adil. Ada hak mereka yang harus dipenuhi yaitu hak
untuk didakwahi dengan cara yang baik karena metode ini yang Rasulullah
Saw ajarkan dalam menyampaikan keindahan Islam. Dalam masyarakat, cara
pencerdasan untuk isu LGBT ini sebaiknya tidak hanya dengan menyebarkan
informasi ke masyarakat mengenai penolakan LGBT, tapi juga membentuk
strategi edukasi tentang langkah yang mungkin lebih solutif untuk kaum
ini dan mencegah bertambahnya jumlah mereka. Beberapa akademisi muslim
menyarankan upaya preventif dan akuratif untuk kaum ini. Berikut adalah
rangkuman upaya dari Tzortzis (2012), Kania (2014), dan Apipudin (2014):
Pertama, dakwah yang merangkul bertindak asertif (bersifat tegas) dan
persuasif (bersifat ajakan). Ketika mereka berteriak ingin
dimanusiakan, sebenarnya Islam juga memanusiakan mereka ketika mereka
mau didakwahi dan bertaubat. Hanya sayangnya, masyarakat kita belum
mampu berdakwah secara lebih layak untuk mereka. Umat Islam lebih banyak
melakukan penentangan dengan kebencian bukan dengan keprihatinan dan
upaya yang persuasif. Ini juga yang membuat mereka enggan berteduh di
bawah ketenangan agama terutama cahaya Islam.
Mereka dari Jaringan Islam Liberal (JIL) berusaha merangkul mereka
dengan memaksakan ‘izin’ keberadaan mereka di agama melalui tafsir
liberal. Ini tentu langkah yang keliru. Seperti sudah menjadi identitas
JIL yang menghalalkan apapun atas nama hak asasi dan menanggalkan
otoritas aturan-Nya. Sebagian kaum gay menilai JIL lebih bijak dari
orang-orang Islam yang tidak liberal. Jika JIL saja dapat membuat mereka
menilai bijak apalagi Islam yang sesungguhnya? Ini mungkin masalah
metode dakwah yang sebaiknya kita renungkan ulang.
Kaum LGBT merasa tersisikan karena mereka sering di-bully dan
disakiti di masyarakat. Sebaiknya, muslim mulai menggalakkan proses
dakwah yang merangkul, berupaya meluruskan mereka bukan dengan hinaan,
cacian atau pengucilan tapi sebaliknya, mendakwahi mereka dengan asertif
dan persuasif . Bila mereka bermasalah secara biologis, diobati atau
diterapi dengan baik untuk mengembalikan kondisi mereka pada fitrahnya.
Mereka adalah orang-orang yang bermasalah yang butuh bantuan dan cahaya
Islam untuk mengembalikan mereka kepada fitrah.
Kedua, dampingi mereka selalu dengan dukungan Islami. Ketika mereka
sudah bertaubat, mereka ini selayaknya orang yang sakit, butuh pemulihan
dan penjagaan. Kebanyakan dari masyarakat kita ketika mereka pulih
masih sering dikucilkan atau mengungkit masa lalu mereka sehingga mereka
sakit hati dan tertekan dan hal ini dapat memicu mereka kembali pada
komunitas mereka yang dinilai lebih nyaman dan mau menerima mereka.
Mereka tidak bisa dilepas sendiri untuk istiqamah di jalan lurus, butuh
kelompok yang dapat mendengarkan keluh kesah perjuangan berada dalam
jalan yang benar dan seorang guru yang senantiasa membimbing mereka
dalam proses pemulihan serta masyarakat yang menjaga mereka dari
penyimpangan lagi.
Ketiga, membentuk lembaga atau organisasi Islami yang fokus pada
edukasi dan pemulihan kaum LGBT. Hal ini sebaiknya dilakukan untuk
membentengi umat dari propaganda mereka adalah mengedukasi masyarakat
tentang fitrah manusia sesuai ciptaan Allah Swt. melalui media yang
bersahabat dan komunikatif berkenaan dengan LGBT ini. Selain itu, juga
dapat mendorong umat untuk melakukan langkah yang tepat saat menghadapi
LGBT, bukan mem-bully tapi menasehati dengan cara yang baik atau bila
tidak mampu mengantarkan mereka pada pendakwah yang dapat membantu
mereka keluar dari masalah dan membuat pusat-pusat konsultasi Islami
yang dapat membimbing orang-orang yang bermasalah itu ke jalan yang
lurus.
Pada lembaga konsultasi psikologi kontemporer dengan dasar
epistemologi Barat banyak yang akhirnya mengantarkan mereka ini pada
jalan yang keliru. Para psikolog itu ketika didatangi para LGBT yang
kebingungan, sangat mungkin berkata “just be yourself. If you feel fine, it’s ok…”.
Hasil konsultasi pada psikologi kontemporer sangat bergantung pada
nilai yang dianut konsultannya ketika ia adalah orang yang mendukung
LGBT maka jawaban di atas mungkin saja terlontar dan bisa juga
sebaliknya, sangat relatif.
Ketika ruang-ruang konsultasi itu dapat menambah kekeliruan dan
masalah bagi mereka. Di situlah ruang konsultasi Islam sebaiknya menjadi
alternatif solusi yang jauh lebih baik. Dimana panduan kita langsung
dari yang menciptakan manusia sehingga dapat memberikan solusi yang
lebih efektif dan mengembalikan mereka kepada kondisi yang lebih mulia.
InsyaAllah..
Daftar Pustaka
Al Quran
Anderson, E. (2013). Homophobia. Encyclopedia of Britania. Diakses di http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1758377/homophobia
Apipudin. (2014). Sikap Islam terhadap perilaku kaum gay dan lesbian.
Diskusi Forum Amal dan Studi Islam (Formasi), Universitas Indonesia,
Depok. [makalah]
Bailey, J.M., & Pillard, R.C. (1991). A genetic study of male sexual orientation. Archives of General Psychiatry, 48, 1089-1096.
Bailey, J. M., Pillard, R.C., Dawood, K., Miller, M.B., Farrer, L.A., Trivedi, S., & Murphy, R.L. (1999). A family history study of male sexual orientation using three independent samples, Behavior Genetics, 29, 79-86.
Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan. (2008) . Dari suara
lesbian, gay, bisexual, dan transgender (lgbt)- jalan lain memahami hak
minoritas. Diunduh dari: http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2008/10/dari-suara-lgbt-jalan-lain-memahami-hak-minoritas-1-1.doc
Hamer, D.H., Hu. S., Magnuson, V.L., Hu, N., & Pattatucci, A.M. (1993) A Linkage between DNA markers on the X chromosome and male sexual orientation. Science, 261, 321-327.
Kania, D.D. (2014). Gay Politics: Problem relativitas nilai dalam
peradaban barat. Diskusi Publik Institute For The Study Of Islamic
Thought And Civilizations (Insists), Kalibata, Jakarta. [Powepoint]
Rice. G., Anderson. C., Risch N., & Ebers, G. (1991). Male homosexuality: absence of linkage to microsatellite markers at Xq28. Science, 284, 665-667.
Satinover, J.B. (1996). Homosexuality and the politics of the truth. Michigan: Baker Books
Tzortzis. H. (2014). Hamza tzortzis on homophobia. Islamic Education and Research Academy (iERA). Youtube: http://www.youtube.com/watch?v=SzeopZioh0M
0 komentar :