Advokat
dan pembela hak asasi manusia Munir Said Thalib, akrab kita sapa dengan
nama Munir, dibunuh telah sepuluh tahun yang lalu. Dia meninggal di
ruang kabin pesawat Garuda Indonesia milik negaranya sendiri saat menuju
Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004.
Di dalam ruang kabin penumpang pesawat Garuda ini ia menghembuskan nafas
terakhir, memenuhi undangan Sang Khalik yang begitu mencintainya,
hingga kita semua tidak diberi kesempatan untuk mengarungi hidup dan
perjuangan bersama-sama.
Munir lahir di kota Batu, 20 kilometer dari Malang di Jawa Timur. Ia
memulai keterlibatannya dalam berbagai kasus pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) di Indonesia pada tahun 1990-an dan awal 2000-an, seusai
menempah dirinya sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang
Malang.
Dalam waktu singkat, Cak Munir telah menjadi tokoh terkenal di Indonesia
dan di seluruh dunia. Popularitas Munir adalah buah dari apresiasi dan
penghargaan masyarakat Indonesia dan dunia atas dedikasinya
memperjuangkan keadilan bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran
HAM di Indonesia.
Tak cukup sampai di situ, Munir konsisten memperjuangkan penegakkan
hukum yang adil, transparan dan independen bagi para pelaku pelanggar
HAM, tak peduli siapa pun oknum pelanggar HAM itu.
Kota Batu, Jawa Timur dijuluki sebagai 'kota bunga', adalah sebuah kota wisata, terkenal keindahan alamnya dan kesuburan tanahnya, dengan mata air alami pegunungan dan hasil pertanian yang melimpah.
Rumah Munir terletak di jalan utama ke Selecta, sebuah tempat mandi yang
indah yang telah lama populer bagi wisatawan asing dan nusantara. Batu
adalah kota di mana Munir mengabiskan masa kecilnya.
Munir remaja menyambut kedewasaannya dengan menjadi aktivis mahasiswa di
Universitas Brawijaya Malang, sebelum bergabung dengan Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum (YLBH) sebagai pengacara. Dalam aktivitasnya sebagai
pengacara dan pembela hukum rakyat kecil ia bertemu Suciwati wanita yang
kemudian menjadi istrinya.
Menjadi Aktivis HAM
Keterlibatan Munir pada advokasi hak-hak tenaga kerja pada tahun,
memperjuangkan keadilan atas pembunuhan aktifis serikat buruh Marsinah,
membela hak petani dan rakyat pada sengketa tanah di Madura, dan
dedikasinya mengungkap kejahatan militer dan milisi Indonesia di Timor
Timur pada tahun 1999, mengantarkan sosok Munir menjadi pejuang HAM
terkemuka di Indonesia.
Kehebatan seorang Munir tidak terletak pada kerasnya teriakan - yang
memang ia tak punya. Bukan pada kebesaran LBH- lembaga yang menaunginya.
Bukan pada aksi massa yang berdemo setiap hari di jalanan - yang ia
sangat jarang lakukan. Atau pada sosok glamour seorang tokoh pengacara
terkenal? Bukan. Bukan pada semua itu asal muasal atau sumber kehebatan
seorang Munir.
Munir hebat karena dia jujur
Munir hebat karena dia ikhlas
Munir hebat karena dia berani
Munir hebat karena dia kepala batu
Munir hebat karena dia konsisten
Munir hebat karena dia berdedikasi
Munir hebat karena dia hidup untuk memperjuangkan HAM
Munir hebat karena dia bersahaja
Munir hebat karena dia segera meminta maaf jika salah dan keliru
Munir hebat karena dia segera koreksi kesalahan dan menerima kebenaran
Munir hebat karena dia tak pernah jadi pelacur
Munir hebat karena dia tak pernah khianati rakyat yang dibelanya
Munir hebat karena dia punya harga diri, martabat dan kehormatan
Munir hebat karena dia memang hebat ...
Sebuah Pembunuhan Yang Tak Pernah Dihukum
Pada sosok Munir, bangsa Indonesia kini dan selamanya dapat mengambil
pelajaran sangat berharga. Seorang pejuang HAM dan pembela rakyat kecil
mati dibunuh oleh oknum aparat negara difasilitasi BUMN maskapai
penerbangan milik negara, dan para dalang pelaku pembunuhannya tak
pernah tersentuh hukum karena mereka memang berdiri di atas hukum.
Pada Oktober 2013, Mahkamah Agung Indonesia memotong hukuman 20 tahun
pria dihukum karena menjadi pion dalam konspirasi besar pembunuhan
Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, menjadi 14 tahun penjara.
Mantan pilot Garuda Indonesia yang juga dikenal sebagai binaan para
petinggi badan intelijen negara itu, dengan sejuta alasan mendapat
keringanan atas perbuatannya turut serta dalam pembunuhan Munir, Tokoh
Pejuang HAM terkemuka Indonesia.
Fakta hukum menunjukan bahwa pembunuhan Munir dapat ditelusuri ke tokoh
dalam komunitas intelijen negara. Jenderal Muchdi, mantan Deputi BIN
(Badan Intelijen Negara) terbukti sering melakukan kontak dengan
Pollycarpus pada periode seputar kematian Munir.
Muhcdi didakwa dengan kejahatan pembunuhan tetapi anehnya dibebaskan
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2008. Istri Munir,
Suciwati telah merasa sangat kecewa dengan sistem peradilan Indonesia.
Ketika perjuangan menegakkan hukum dan keadilan atas pembunuhan Munir
melalui pengadilan atas diri terdakwa Muchdi gagal diwujudkan,
perjuangan menyeret terduga otak pelaku Jenderal Hendropriyono berubah
menjadi utopia.
Kontras dan Suciwati Mengkhianati Munir
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Kesalahan fatal
dilakukan oleh istri Munir, Suciwati dan organisasi yang didirikan
Munir, Kontras. Entah apa sebab dan motifasinya, Suciwati dan Kontras
malah bersatu padu mendukung calon presiden Joko Widodo, yang terbukti
merupakan tokoh boneka ciptaan musuh besar mereka selama ini,
Hendropriyono.
Mendukung Joko Widodo, mantan walikota Surakarta yang selama
bertahun-tahun terlibat aktif dalam rekayasa terorisme Islam di
Surakarta, bersama mentor utamanya Hendropriyono. Penumpasan terorisme
Islam jadi-jadian di Surakarta oleh Hendropriyono, Jokowi dan
kelompoknya, tak terlepas dari segudang tindakan pelanggaran HAM.
Segudang kejahatan HAM yang menjadi dedikasi perjuangan Munir untuk
dihapuskan dari muka bumi Indonesia.
Bagaimana mungkin Kontras dan Suciwati mengkhianati perjuangan almarhum
Munir, dengan mendukung terduga otak dan pelaku pelanggaran HAM dalam
penumpasan teroisme Islam?
Bagaimana mungkin Kontras dan Suciwati membela, mendukung dan turut
serta memperjuangan kemenangan penjahat HAM Hendropriyono dan bonekanya
Joko Widodo dalam pemilu presiden 2014 lalu?
Munir dan Indonesia menangis ...
(Yudi Samara)
0 komentar :