Persoalan korupsi yang marak di Indonesia terjadi akibat
sistem yang berlaku seringkali memaksa seseorang untuk melakukan tindak
pidana korupsi (Tipikor).
Begitu dikatakan Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza
Mahendra saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang lanjutan terdakwa
Anas Urbaningrum di Pengadilan Tipikor Jakarta (Rabu, 3/9).
Yusril tak sepakat jika korupsi terjadi disebabkan lemahnya
moral masyarakat. Sebab, kenyataannya moral masyarakat Singapura dan
Indonesia misalnya, jelas-jelas berbeda. Tapi, Singapura jelas-jelas
lebih maju dibandingkan di Indonesia. Sebab, sistem yang dibangun di
Singapura tidak memberikan ruang bagi para koruptor.
"Jadi ini bukan masalah moral. Ini masalah sistem. Orang
jahat masuk ke Singapura jadi baik, karena di sana sistemnya harus
baik," terang Yusril.
Nah, hal itu, menurut Yusril, justru berbanding terbalik
dengan yang terjadi di Indonesia. Di Indonesia, orang baik malah dipaksa
untuk melakukan perbuatan yang melanggar.
"Misalnya ada orang yang urus KTP di kelurahan. Karena
tidak jadi-jadi ya dia bilang bayar berapa biar jadi. Jadi orang ini
dipaksa untuk melanggar," terang dia.
Sedangkan mengenai keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Yusril mengaku tidak menyangka lembaga ini dapat bertahan lama
atau bahkan permanen. Padahal, sebagai salah satu inisiator dibentuknya
lembaga anti korupsi itu, Yusril berharap KPK lebih mengedepankan
pencegahan korupsi bukan penindakan.
"Saat kami bawa di DPR, saya tak berpikir KPK menjadi
lembaga permanen. Ini dikasih kewenangan yang luar biasa tapi jangan
lama-lama," tuturnya.
Tak hanya itu, Yusril pun mengkritik keberadaan KPK yang
saat ini lebih terkesan sebagai lembaga yang lebih terkenal dengan
upayanya memenjarakan pada koruptor.
"Kalau kita lihat konvensi PBB melawan korupsi, itu bukan
pemidanaan. Orang dihukum berat-berat tapi uang negara tidak kembali
sama saja. Itu dampaknya bagi kesejahteraan rakyat hanya biasa,"
demikian kata Guru Besar Hukum Universitas Indonesia itu.
0 komentar :